“Sekian banyak pabrik yang ditutup, dari mana lagi kita dapat gula kalau bukan impor? Jadi, jumlah produksi gula dalam negeri tidak mencukup kebutuhan baik itu untuk konsumsi maupun industri," kata dia.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan kebutuhan gula industri masih besar, khususnya untuk industri makanan dan minuman yang digenjot untuk terus tumbuh, bahkan untuk ekspor. Sejauh ini, kata dia, produksi gula dalam negeri hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi. Untuk tahun ini, kebutuhan impor gula untuk industri sebetulnya mencapai 3,6 juta ton. Namun, Achmad menuturkan kementerian akan meminta ekspor gula industri hanya 2,8 juta ton, lebih rendah dari tahun lalu.
Menurut dia, pemerintah berupaya menekan volume impor. Salah satunya dengan menggenjot investasi di bidang industri gula yang terintegrasi dengan kebun. Selama ini, kata dia, sudah ada tiga komitmen dari investor untuk berinvestasi di sektor ini. Hal ini diharapkan bisa mewujudkan swasembada nantinya. “Pabrik gula terintegrasi yang selesai baru satu dari tiga yang saat ini sedang melakukan investasi,” kata dia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman menuturkan untuk industri memang ada ketentuan penggunaan gula kristal rafinasi. Karena produksi dalam negeri tidak memadai, industri terpaksan impor gula mentah untuk diolah jadi gula kristal rafinasi. Tahun lalu, permintaan industri sekitar 3,5 juta ton dan yang terealisasi sekitar 3,2 juta ton. Tahun industri mengajukan adanya pertumbuhan industri sekitar lima persen. Artinya akan ada kenaikan kebutuhan impor gula industri.
Namun, karena ada sisa pasokan tahun lalu, Adhi menuturkan pemerintah sementara hanya memberikan izin kuota 2,8 juta ton. Menurut dia, angka tersebut masih akan terus dievaluasi oleh pemerintah apakah akan cukup atau tidak. "Pemerintah berjanji bahwa permintaan industri akan tetap dipenuhi sepanjang permintaannya memang ada," kata Adhi.
Soal kualitas gula, Adhi menuturkan standar ICUMSA yang dibutuhkan oleh industri itu di bawah 45. Satuan itu untuk mengatur kemurnian, hingga kadar warna. Menurut Adhi, semakin tinggi ICUMSA semakin buruk kualitasnya. Sementara, ICUMSA gula dalam negeri nilai di atas 70. Artinya produksi dalam negeri tidak memenuhi standar industri. “Selama ini kami raw sugarnya impor, kemudian diolah di sini jadi gula rafinasi," tutur Adhi.
Adhi berharap pemerintah terus mendorong industri gula agar industri makanan dan minuman bisa menggunakan gula dalam negeri. Adapun pabrik yang sedang dibangun dinilai belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, khususnya industri. Itu pun, kata dia, dampak dari pembangunan pabrik itu baru dirasakan pada 2020. "Pemerintah juga harus mempertimbangkan pabrik gula yang sudah tua untuk direvitalisasi, misalnya merger atau bangun baru sehingga hasilkan gula berdaya saing," kata dia.
Selain itu, Adhi menilai sebaiknya tidak ada definisi gula kristal putih (GKP) maupun gula kristal rafinasi (GKR). Pasalnya, kata dia, dengan adanya definisi GKP GKR ini sngat merepotkan industri. Ia khawatir pembedaan definisi ini akan menimbulkan asumsi yang buruk, entah itu adanya rembesan atau kebocoran. Yang penting, kata dia, ada satu jenis gula tapi dibedakan berdasarkan tingkatnya. Dengan begitu, kata dia, konsumen pun juga bisa memilihi kualitas gula yang diperlukan.
“Tidak perlu dibedakan gula konsumsi atau produksi karena akan menambah upaya pengawasan yang seharusnya tidak perlu,” kata dia.