TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium atau Inalum, Budi Gunadi Sadikin mengatakan pendapatan PT Freeport Indonesia bakal kembali naik pada 2023 setelah diperkirakan anjlok sekitar tahun 2019 dan 2020. Dalam keadaan stabil, perseroan bisa mendapat laba US$ 2 miliar per tahun.
BACA: Izin Ekspor Konsentrat Freeport Habis Februari 2019
"Pada saat manteng itu (laba) sekitar US$ 2 miliar per tahun, karena Inalum pegang 51 persen, kita dapat US$ 1 miliar per tahun setelah 2023," ujar Budi di Kahmi Center, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2019.
Budi membenarkan bahwa tahun ini EBITDA Freeport bakal merosot ketimbang sebelumnya lantaran Grasberg Open Pit habis pada 2019 dan diganti dengan tambang bawah tanah.
"Ini akan berproduksi maksimal di sekitar 2023, dan nanti akan mulai stabil," ujar Budi. "Jangan dimarahi kalau produksi turun di 2019 dan 2020, bukan karena tambangnya habis."
BACA:KLHK Jawab Tudingan Soal Kerusakan Limbah oleh Freeport
Dalam keadaan stabil tersebut, kata Budi, Freeport bakal memiliki revenue sebesar US$ 7 miliar per tahun atau sekitar Rp 98 triliun per tahun dengan asumsi nilai tukar Rp 14 ribu per dolar AS. Selanjutnya, EBITDA perseroan dalam keadaan stabil mencapai US$ 4 miliar atau RP 56 triliun.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono menegaskan pendapatan Freeport turun bukan lantaran perkara menipisnya cadangan maupun kadar barang tambang di sana. Penurunan itu disebabkan proses produksi di tambang bawah tanah Grasberg masih belum dimulai.
Setelah tambang bawah tanah beroperasi, Bambang optimistis pendapatan PT Freeport Indonesia bakal mulai naik kembali. "Sejak 2020 dan 2021 akan naik lagi sampai 2025, nanti 2025 akan mulai stabil," ujar Bambang.
Akhir tahun lalu, Inalum menebus 51,2 persen saham perusahaan Freeport Indonesia senilai US$ 3,85 miliar atau Rp 55,8 triliun (dengan kurs Rp 14.500). Aksi korporasi tersebut setelah Inalum melunasi transaksi divestasi saham Freeport, Jumat, 21 Desember 2018.
Untuk menguasai saham Freeport, Inalum menerbitkan obligasi valuta asing senilai US$ 4 miliar atau Rp 58 triliun. Selain membeli saham, sisa hasil obligasi digunakan untuk refinancing. Inalum menunjuk BNP Paribas, Citigroup, dan MUFG untuk menjadi koordinator underwriter atau penjamin emisi penerbitan obligasi. Sedangkan CIMB, Maybank, SMBC Nikko, dan Standard Chatered Bank ditunjuk sebagai mitra underwriter.