Ada juga @andiaprabowo yang mempertanyakan data utang di masa sejumlah presiden yang ditampilkan yang hanya saat satu periode jabatan. "Masih kurang details ... Pak SBY dalam 2 periode Jabatan dan Lainnya 1 periode blom complete lagi," katanya.
Sementara Dede dengan akun @akangckp mempersoalkan data utang yang tidak disandingkan dengan angka pertumbuhan dan ekonomi. "Pendapatan & pertumbuhan kok ngak dimunculin? Belum lg nilai mata uang yg tidak selaras dgn hrg barang antar waktu. Kesannya hal negative & rasa waswas yg ditebar," seperti dikutip dari cuitannya, 16 jam yang lalu.
Selain itu ada juga @drury_yl yang menuding data yang disajikan Galam adalah bentuk framing karena jika membandingkan utang, seharusnya juga menyajikan data pendapatan. "Kalo mo bandingkan HUTANG, lihat juga PENDAPATAN-nya. Sama halnya kalo mo membandingkan PERTUMBUHAN EKONOMI, lihat juga INFLASI- Jangan lihat dari satu sisi aja. Itu FRAMING namanya!"
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti menyatakan pada dasarnya utang sangat dimungkinkan dan bukan sebagai hal yang tabu. Selama utang bisa memberikan hasil yang produktif dan dapat menambah penghasilan sepanjang digunakan untuk hal yang bisa meningkatkan kapasitas.
Nufransa menyebutkan, beban utang pada sebuah perusahaan tidak bisa dihitung dari berapa jumlah pegawainya, tapi dilihat dari pendapatan operasionalnya. "Hampir seluruh negara di dunia memiliki utang dengan jumlah yang berbeda pada setiap negara, tergantung ukuran ekonominya, bukan dilihat dari jumlah penduduknya," katanya pada Tempo, Sabtu malam, 5 Januari 2019.
Lebih jauh Nufransa juga menyatakan bahwa penghitungan utang per kapita tidak ada hubungannya dengan kemampuan membayar utang. Kemampuan membayar utang dilihat dari penghasilannya, dimana dalam suatu negara dinamakan Produk Domestik Bruto (PDB).
Oleh karena itu, kata Nufransa, indikator penting dan digunakan secara luas oleh setiap negara dalam mengukur tingkat keamanan berutang dan pengambilan kebijakan adalah rasio utang per PDB. Rasio ini membandingkan jumlah utang yang dimiliki Pemerintah dengan size perekonomian suatu negara.
Rasio utang per PDB menunjukkan indikasi kemampuan membayar dari suatu negara atas utang yang dimilikinya. Rasio ini, kata Nufransa, menjadi salah satu indikator yang harus dipatuhi Pemerintah dan diatur dalam Undang-undang no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Baca: Kritik Utang dari Kubu Prabowo Ini Mendadak Viral, Apa Isinya?
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada akhir November 2018 utang Pemerintah Indonesia tercatat sebesar Rp 4.396 triliun, sementara rasio utang per PDB tercatat sebesar 29,9 persen. "Masih jauh di bawah 60 persen sebagaimana ketentuan Undang-undang no 17 tahun 2003," tutur Nufransa. "Hal ini menunjukkan bahwa utang Indonesia aman dan mampu dibayar kembali."
CAESAR AKBAR