TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Rosan Perkasa Roeslani menyebut naik dan turun nilai tukar rupiah yang terlalu cepat belakangan membuat pengusaha serba salah. Pengusaha, kata dia, lebih mengharapkan nilai tukar rupiah bisa stabil.
Baca: Rupiah Menguat, Chatib Basri Beri Warning untuk Pemerintah
"Kalau naik turunnya cepat, kami repot bikin planning-nya, karena kita harus ambil asumsi yang mana," kata Rosan di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa, 8 Januari 2019.
Rosan mengatakan penguatan rupiah yang signifikan tidak selalu bagus bagi pengusaha. Meskipun, banyak orang yang menilai penguatan rupiah itu sangat baik. "Bagi pengusaha yang orientasinya ekspor mungkin juga kurang happy dengan penguatan yang begitu kencang."
Lantaran pemerintah pada mulanya mengasumsikan rupiah di kisaran Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019, Rosan berharap rupiah tidak berfluktuasi secara signifikan dari asumsi tersebut, atau paling tidak di kisaran Rp 14.500 per dolar AS.
Nilai tukar rupiah menguat 16 poin atau 0,11 persen ke level Rp 14.067 per dolar AS pada siang hari ini. Hal tersebut terjadi di saat indeks dolar AS naik 0,26 persen atau 0,246 poin ke posisi 95,912.
Sebelumnya kurs rupiah sempat berfluktuasi sejak Selasa pagi hari ini. Pada pembukaan perdagangan pagi pada pukul 08.53 WIB nilai tukar rupiah menguat ke level Rp 14.034 per dolar AS dan Rp 14.040 per dolar AS pada pukul 10.00 WIB.
Sedangkan pada pukul 11.16 WIB kurs rupiah melemah 17 poin atau 0,12 persen ke level Rp 14.100 per dolar AS. Pelemahan itu terjadi seiring penguatan indeks dolar AS sebesar 0,282 poin atau 0,29 persen ke level 95,948.
Kepala Riset Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra mengatakan salah satu penopang penguatan rupiah adalah optimisme pelaku pasar terhadap negosiasi dagang antara AS dengan Cina yang akan tercapai kesepakatan. Hal ini tak saja menguatkan rupiah, tapi juga mata uang di kawasan Asia. "Di tengah minimnya data ekonomi, pelaku pasar terlihat optimistis akan ada progres pada pertemuan kali ini," katanya.
Baca: BI Beri Ruang Rupiah Menguat Lebih Lanjut, Begini Caranya
Sementara itu, kata Ariston, mata uang berisiko seperti rupiah kembali membuka peluang untuk melanjutkan penguatannya. Selain itu, sentimen dovish mengenai prospek kebijakan moneter Federal Reserve (Fed) tahun ini turut menjadi faktor yang menopang mata uang berisiko. "Sikap dovish The Fed mengenai pengetatan kebijakan pada 2019 memicu peralihan dana ke aset berisiko," katanya.
ANTARA