TEMPO.CO, Jakarta - Permusyawaratan Antar Syarikat Umrah dan Haji Indonesia (Patuhi) menolak pelaksanaan rekam data biometrik pembuatan visa umrah dan haji yang dilakukan oleh Visa Facilitation Services (VFS) Thaseel, perusahaan penyelenggara pembuatan visa di bawah Kedutaan Besar Arab Saudi. Organisasi yang beranggotakan ratusan biro perjalanan haji dan umrah ini pun mengungkapkan kelemahan hingga potensi pelanggaran di perusahaan tersebut.
Baca: Arab Saudi Resmi Hapus Biaya Kenaikan Visa Umrah dan Haji
Pertama, VSL Thaseel hanya memiliki izin sebagai biro travel dari Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM, bukan lembaga yang merekam data biometrik jemaah haji dan umrah. "Ini jelas ada sebuah pelanggaran," kata Anggota Dewan Pembina Patuhi, Baluki Ahmad, dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Kamis, 3 Desember 2018.
Jika perekaman data biometrik dilakukan dalam negeri, kata Baluki, maka seharusnya menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri serta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. BKPM, sebagai pemberi izin pun, kata dia, disinyalir tidak mengetahui jika VFS Thaseel telah beroperasi di luar izin yang diberikan.
Untuk diketahui, telah terjadi perubahan pengurusan visa jemaah haji dan umrah. Selama ini, rekam biometrik hanya dilakukan begitu para jemaah mendarat di Jeddah, Arab Saudi. Tapi sejak tiga bulan lalu, sekitar Oktober 2018, proses rekam biometrik itu dipindahkan ke negara-negara asal jemaah haji dan umrah untuk mengurangi antrean di Arab Saudi. Nah, VFS Thaseel inilah yang ditunjuk Kedubes Arab Saudi melakukan keseluruhan proses tersebut.
Masalahnya, sejumlah perusahaan biro perjalanan haji dan umrah di bawah Patuhi menemukan kesulitan pada proses rekam biometrik di kantor-kantor VFS Thaseel yang ada di Indonesia. Pertama, yaitu kantornya yang hanya 30 unit dinilai sangat terbatas sehingga menyulitkan para jemaah yang tersebar di berbagai daerah. Kedua, proses pengurusan yang bisa memakan waktu hingga dua hari.
Baluki melanjutkan, bahwa VSL Thaseel juga dianggap mengabaikan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Di dalam aturan itu, kata dia perseroan terbatas yang terlibat dalam penyelenggaraan haji dan umrah wajib mendapatkan izin Menteri Agama. "Sementara, VSL Thaseel tidak memilikinya."
Ketua Harian Patuhi, Artha Hanif, menegaskan bahwa asosiasi tidak akan tinggal diam dan akan terus mendesak kementerian mengambil sikap tegas. "Ini tidak boleh dibiarkan." Jika akhirnya tidak ada kejelasan, maka asosiasi pun telah berencana untuk mengambil sikap yang lebih keras yaitu memboikot kehadiran VFS Thaseel di Indonesia.
Hingga berita ini diturunkan, Tempo masih berupaya untuk meminta konfirmasi dari pihak Kedutaan Besar Arab Saudi dan VFS Thaseel terkait pembuatan visa umrah dan haji biometrik.