TEMPO.CO, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis kinerja fiskal tahun ini bisa sepositif tahun 2018. Musababnya, berkah windfall yang sepanjang tahun lalu menopang penerimaan negara khususnya perpajakan sumber daya alam dan royalti penerimaan negara bukan pajak masih berlanjut di tahun ini. “Seluruh kemungkinan windfall sudah terefleksikan di APBN 2019 dengan proyeksi pendapatan negara Rp 2.165,1 triliun,” katanya di kantornya, Selasa 2 Januari 2019.
Baca: Refleksi 2018 Sri Mulyani: Defisit APBN Terendah Sejak 2012
Sri mengatakan windfall bakal memberikan kontribusi pundi-pundi negara. Komponen penyumbang windfall semisal harga minyak dunia pada tahun ini dipatok US$ 70 per barel. Begitu juga dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat di angka 15 ribu. Kedua komponen tersebut berselisih amat jauh dibandingkan di tahun 2018 yang masing-masing dipatok US$ 48 per barel dan 13.400.
Sri Mulyani enggan merinci. Namun ihwal besarnya tambahan rupiah yang diterima negara berkat berkah naiknya harga komoditas dan depresiasi nilai tukar membikin pemerintah tak kehabisan bensin menanggung beban subsidi energi yang meroket 86,25 persen menjadi Rp 153,5 triliun. Harga minyak yang meleset dari US$ 48 per barel ke US$ 54,75 secara khusus membuat beban subsidi bahan bakar minyak dan gas elpiji belipat ganda menjadi Rp 97 triliun.
Pos penerimaan negara bukan pajak juga meningkat pesat dari asumsi Rp 275,4 triliun menjadi Rp 407,1 triliun. Tak hanya subsidi, berbagai program lain non infrastruktur seperti bantuan sosial, belanja lain-lain termasuk bencana yang naik masing-masing 51,72 persen dan 77,27 triliun bisa dilunasi dengan baik. Pembayaran bunga utang pun bisa dicapai meski realisasinya mencapai 108,2 persen di angka Rp 258,1 triliun.
Walhasil pendapatan negara tahun lalu cukup sehat lantaran angka keseimbangan primer jauh lebih baik menjadi minus Rp 1,8 triliun dari positif Rp 124,4 triliun. Belanja kementerian/lembaga juga positif hampir 100 persen meski belanja modal menjadi pos terendah dengan prosentase 90,7 persen atau turun 11 persen dari tahun lalu. “Yang jadi pertimbangan kedua karena shortfall perpajakan masih terjadi,” katanya.
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan tak menampik realisasi penerimaan pajak masih perlu pembenahan. Tahun lalu, realisasi penerimaan pajak hanya 92,41 persen atau selisih Rp 109 triliun dari target Rp 1.424 triliun. “Outlook kami padahal di 94 persen,” ujar Robert.
Laju pertumbuhan penerimaan pajak dari sektor industri pengolahan, perdagangan, konstruksi, pertanian yang memiliki kontribusi 57,9 persen tak semoncer tahun 2017. Hanya sektor jasa keuangan dan pertambangan yang tumbuh positif di angka 11,91 persen dan 51,15 persen. Meski begitu, kontribusi kedua sektor tersebut cuma 20 persen.
Baca: Sri Mulyani Buka-bukaan Soal Alotnya Negosisasi Freeport
Robert mengatakan meski melemah, otoritas pajak takkan galak memburu pajak tahun ini. Nilai insentif pajak yang senilai lebih dari Rp 150 triliun tahun lalu akan terus ditingkatkan untuk menggairahkan iklim usaha. Adapun, Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengatakan akan melanjutkan program penegakan enforcement yang bisa meningkatkan pendapatan cukai hasil tembakau senilai Rp 40 triliun.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan tekanan eksternal cenderung melandai tahun depan. Namun, pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini diprediksi bakal lebih lemah dari tahun lalu. “Volume perdagangan dan harga komoditas dunia berpotensi kembali rendah dan jadi tantangan bagi ekspor nasional,” kata Perry.
Simak berita tentang Sri Mulyani hanya di Tempo.co