TEMPO.CO, Jakarta - Dua operator bandara pelat merah akan mengelola sejumlah bandara yang sebelumnya dioperasikan oleh unit penyelenggara bandar udara (UPBU) Kementerian Perhubungan. Hak kelola bandara dialihkan ke badan usaha, yakni PT Angkasa Pura I (persero) dan PT Angkasa Pura II (persero) itu melalui skema Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) barang milik negara, yang menjadi bentuk pembiayaan alternatif untuk infrastuktur.
Baca juga: Angkasa Pura I Dapat Dana Rp 5 Triliun untuk Pengembangan Bandara
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menargetkan ada lima bandara yang diswakelola hingga pertengahan tahun depan. "Perusahaan bisa kembangkan bandara dengan belanja modal (capex) mereka, prasarana lebih baik dan pelayanan lebih profesional," ucap Budi di Jakarta, Rabu 19 Desember 2018.
Bandara Tjilik Riwut di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, resmi menjadi pembuka KSP proyek udara pemerintah. Terhitung sejak kemarin, lisensi bandara yang nilai total asetnya mencapai Rp 3,68 triliun itu diserahkan ke Angkasa Pura II, dengan perjanjian konsesi 30 tahun. Usai konsesi, aset bandara yang mencakup lahan, peralatan bandara, dan gedung kerja akan sepenuhnya kembali ke pemerintah.
Menurut Budi, lima bandara yang akan dialihkan, menyusul Tjilik Riwut, merupakan pendahuluan dari total 10 bandara dalam daftar rencana KSP. Tiga diantaranya, yakni Bandara Haji Abdullah Sanusi Hanandjoeddin di Bangka Belitung, Bandara Fatmawati Soekarno di Bengkulu, serta Bandara Radin Inten II di Lampung akan diserahkan ke Angkasa Pura II. Dua lainnya, yaitu Bandara Sentani di Papua dan Bandara Aji Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto di Kalimantan Timur rencananya dipegang Angkasa Pura I.
"Negara jadi tak perlu keluarkan anggaran. Dari satu bandara kita bisa hemat sekitar Rp 100 miliar per tahun," ucap Budi.
Penghematan itu, ujar dia, akan mengucur ke proyek pengembangan bandara kecil. Karyawan di UPBU pun diberi opsi untuk lanjut berkerja bagi perseroan, atau beralih tugas ke sejumlah bandara perintis.
"Penghematan kita kan bisa dipakai untuk bandara lain, nanti akan besar ke Bandara Buntu Kunik di Toraja, atau mungkin Bandara Banyuwangi," tuturnya.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Polana Banguningsih Pramesti, mengatakan unitnya mengawasi pengelolaan Bandara Tjilik Riwut. Audit keuangan berkala pun dilakukan untuk mencegah kerugian negara. "Selama kerjasama tak boleh ada peralihan kepemilikan perusahaan, apalagi menjadikan BMN sebagai jaminan ataupun digadaikan," ucapnya.
Direktur Utama Angkasa Pura II, Muhammad Awaluddin, menyatakan perseroan mengucurkan Rp 483 miliar untuk pengembangan Tjilik Riwut. Bandara ditarget sudah menampung 8 juta penumpang di akhir konsesi. "Sekarang masih pakai terminal lama dan traffic passanger baru hampir sejuta," katanya. "Terminal baru jadi prioritas kami, harus beroperasi sebelum akhir triwulan I 2019."
Perseroan pun sudah menyusun rencana pengelolaan tiga bandara KSP lain. "Penanganan dan target tiap bandara berbeda. Semisal Hanandjoeddin butuh perluasan terminal, sementara Radin Inten II bisa fokus bangun prasarana kargo, " kata Awaluddin.
Vice President Corporate Secretary Angkasa Pura I, Handy Heryudhitiawan, menyatakan masih mengebut realisasi KSP Bandara Sentani. Pertumbuhan penumpang sebesar 5,6 persen di bandara tersebut dianggap menjanjikan keuntungan.
"Market terbuka luas. Rute yang selama ini dominan ke Jakarta atau Makassar bisa dikembangkan. Bahkan bisa ada akses ke Papua Nugini dan Australia," ucap Handy.