TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan hasil pemeriksaan penerapan kontrak karya PT Freeport Indonesia dari tahun 2013 hingga 2015. Pertama, BPK mengumumkan adanya penggunaan hutan lindung seluas 4.535,93 hektare tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh PT Freeport Indonesia.
Baca: Divestasi Freeport, Jokowi: Orang Lain Jangan Masuk dengan Gelap
Tapi, kata Rizal, IPPKH untuk lahan tersebut sudah memasuki tahap finalisasi oleh Kementerian LHK. Selanjutnya, akan ada denda berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP IPPKH beserta kewajiban total sebesar Rp 460 miliar. "Begitu ini ditekan (Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, maka akan langsung ini ditagih," kata Anggota IV Badan Pemeriksa Keuangan, Rizal Djalil, dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPK, Jakarta, Rabu, 19 Desember 2018.
Rizal menyebut IPPKH ini menjadi bagian tak terpisahkan dari proses divestasi PT Freeport Indonesia oleh pemerintah Indonesia dan PT Indonesia Asahan Alumunium atau Inalum yang saat ini berlangsung. "Mereka menggunakan hutan lindung sekian tahun, nah sebenarnya itu ga boleh,. Tapi ada klausul, okelah, dia harus ada kewajibannya, tapi harus selesaikan dulu IPPKH," ujar Rizal.
Kedua, BPK juga menemukan pembuangan pasir sisa limbah alias tailing yang mengakibatkan kerusakan ekosistem. Tapi untuk masalah ini, BPK menyebut Freeport sudah melakukan pembahasan bersama KLHK. "Freeport Indonesia telah membuat roadmap sebagai rencana aksi penyelesaian masalah tersebut dan membahasnya dengan KLHK," ujar Rizal.
Ketiga, BPK menemukan adanya permasalahan kekurangan Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP dan kelebihan pencairan jaminan reklamasi total sebesar US$ 1,6 juta atau sekitar Rp 23 miliar. Namun, BPK memandang kekurangan PNBP sebesar Rp 23 miliar sudah diselesaikan oleh Freeport Indonesia sesuai peraturan yang berlaku.
Keempat, BPK melihat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memperbaiki regulasi usaha jasa pertambangan untuk perusahaan asal Amerika Serikat tersebut. "Sehingga, potensi penyimpangan pada masa yang akan datang dapat dicegah dan tidak terjadi kembali," ujar Rizal.
Tak hanya temuan ini, BPK sebenarnya telah pernah juga melaporkan hasil audit atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap penerapan kontrak karya Freeport Indonesia pada Maret 2018. Hasil audit yang dipublikasikan ini menunjukkan adanya kerusakan ekosistem akibat limbah PT Freeport Indonesia di Papua senilai Rp 185 triliun.
Namun, Rizal menyebut BPK masih akan memonitor tindakan dari Kementerian LHK terkait kerusakan Rp 185 triliun itu. "BPK akan memonitornya karena LHK adalah mitra BPK yang akan melakukan pemeriksaan," ujar Rizal. Adapun Menteri LHK Siti Nurbaya menyebut kajian atas kerusakan Rp 185 triliun ini belum akan dilakukan dalam waktu dekat. "Kami harus cek dulu semua tahapan ini," ujarnya.
PT Freeport Indonesia telah menerima salinan lengkap dari temuan BPK ini, namun belum banyak memberikan komentar. "Kami masih mempelajarinya laporan BPK tersebut," kata juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama saat dihubungi.