TEMPO.CO, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mulai menggodog regulasi untuk produk hilirisasi untuk memberi nilai tambah bagi batu bara. Untuk langkah awal, pedoman akan dibuat untuk aktifitas gasifikasi batubara menjadi dimethylether (DME) sebagai alternatif pengganti gas liquid petroleum gas (LPG).
Baca juga: Revolusi Industri, Jonan Ingin Batu Bara Memiliki Nilai Tambah
"Kami masih dalam bentuk pedoman dulu untuk tahun ini ya. Dari pedoman nanti diangkat jadi satu peraturan. Kalau bisa antar Kementerian bisa jadi PP," ujar Muhammad Wafid Agung, Direktur Bina Program Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di Jakarta, Selasa 18 Desember 2018. Pedoman ini diharapkan selesai di akhir tahun ini.
Wafid mengatakan saat ini Indonesia memiliki batubara kalori rendah (low rank coal) hingga 40 persen. Jika dijual, pendapatan dari batubara jenis ini tak terlalu besar. Low rank coal ini akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk gasifikasi. "Kita LPG impor sampai 70 persen. Kita manfaatkan DME ini untuk substitusi dan itu tadi mix blending," kata Wafid.
Wafid mengatakan skema gasifikasi ini segera dimulai oleh salah satu perusahaan batubara, yakni PT Bukit Asam (PTBA). Perusahaan plat merah itu akan bermitra dengan PT Pertamina, PT Chandra Asri Petrochemical, juga PT Pupuk Indonesia di Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan. Mereka dikabarkan akan memproduksi tiga jenis produk yakni urea, dimethylether (DME), dan Polypropylene.
Adapun bentuk aturannya masih belum dipastikan bentuknya. Namun Wafid mengatakan Kementerian ESDM telah berkoordinasi dengan seluruh stakeholder termasuk kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian hingga Badan Kebijakan Fiskal. "Soalnya nanti kan diharapkan ada intensif-insentif," kata Wafid.
Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu Patria Sjahrir mengatakan hilirisasi tak menjadi masalah di kalangan pengusaha batubara. Namun ia mengatakan investasi ke arah hilirisasi masih sangat minim. Sejauh ini, pemanfaatan batubara di Indonesia masih mayoritas digunakan untuk pembangkit listrik.
Untuk gasifikasi, teknologinya baru saja masuk dan belum teruji pasarnya. "Pertanyaanya bagaimana membangun skala ekonomik yang besar agar investasinya masuk," kata Pandu.
Presiden Direktur PT Adaro Energi Garibaldi Thohir mengatakan bahwa perusahaanya telah mengkaji skema gasifikasi ini sejak tiga tahun lalu. Ia mengatakan Cina masih menjadi negara paling maju dalam hal hilirasasi batubara ini. Produk hilirisasi mereka tak hanya terbatas di gas saja, namun juga ke likuid hingga amonia.
Namun untuk saat ini, Boy, sapaan akrab Garibaldi, mengatakan Adaro belum akan masuk ke gasifikasi batubara. Adaro ia sebut masih akan fokus pada produk batubara berupa tenaga listrik. "Adaro masih punya banyak proyek batang, kalsel. Itu kta fokus dulu. DME ya kita studi sekarang nih. Ya bertahap lah," kata Pandu.
Nilai tambah batubara menjadi hal yang terus didorong pemerintah terhadap industri emas hitam itu. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan presiden sendiri telah meminta agar nilai tambah ini benar-benar dijalankan.
Apalagi pemerintah di satu sisi juga terus memperkuat penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi mereka. Saat ini, Jonan mengatakan batubara memang masih menjadi tulang punggung energi di Indonesia dengan komposisi hingga 60 hingga 70 persen.
Ia menyebut Indonesia harus bisa mengikuti jejak Cina yang jauh lebih maju dalam pemanfaatan batu bara. Ia mengatakan teknologi gasifikasi untuk menghasilkan DME telah ada. Ia pun mengajak para pelaku industri batubara untuk mulai ke arah hilirisasi ini. "Yang sederhana bikin DME dulu. Nanti ini bisa buat pengganti LPG," kata Jonan.
HENDARTYO HANGGI