TEMPO.CO, Jakarta -Sulitnya menggaet partisipasi investor swasta ditengarai menjadi penyebab rendahnya realisasi target investasi pariwisata senilai Rp 500 triliun.
Berdasarkan laporan Kementerian Pariwisata, kebutuhan pembiayaan sektor pariwisata senilai Rp 500 triliun sepanjang 2015—2024 itu sejauh ini dipenuhi dari investasi pemerintah senilai Rp 170 triliun, investasi swasta senilai Rp 35 triliun, pembiayaan pemerintah senilai Rp 10 triliun dari lembaga keuangan pemerintah, serta pembiayaan swasta senilai Rp 285 triliun.
BACA: Dukung Pariwisata, 3 Dermaga Kepulauan Seribu Direvitalisasi
Adapun, pembiayaan dari investor swasta diperoleh dari kalangan perbankan senilai Rp 230 triliun, industri keuangan nonbank Rp 10 triliun, dan pasar modal senilai Rp 45 triliun.
Ketua Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia atau ICPI Azril Azahari menuturkan, kecepatan pemerintah dalam berinvestasi di sektor pariwisata belum diimbangi oleh upaya serupa dari pelaku bisnis pariwisata sektor swasta.
Pasalnya, sebut Azril, selama ini investor swasta masih sangat sedikit yang mau mengucurkan modalnya di sektor pariwisata. “Sektor pariwisata sangat butuh investasi karena kalau hanya dari pemerintah saja enggak akan bisa,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin, 17 Desember 2018.
Terlebih, sambungnya, infrastruktur pendukung pariwisata sangat dibutuhkan agar dapat menarik banyak wisatawan mancanegara atau wisman. Selain infrastruktur pendukung seperti jalan, sanitasi dan air bersih, akomodasi juga perlu dibangun oleh oleh swasta.
“Swasta memang menunggu dulu semua jadi dibangun, baru dia masuk berinvestasi. Namun, sekarang enggak bisa begitu. Pemerintah dan swasta harus beriringan membangun [sektor pariwisata]. Sebab, kalau tidak, pariwisata Tanah Air akan lambat majunya,” tutur Azril.
BACA: Mandiri Senggigi Sunset Jazz Dorong Kebangkitan Pariwisata Lombok
Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies atau Asita, Asnawi Bahar berpendapat keengganan swasta untuk berinvestasi di sektor pariwisata adalah karena menunggu kepastian dari pemerintah.
“Mereka pasti akan lihat bagaimana potensi wisata, ketersediaan jalannya, airnya, telekomunikasinya, listrik, baru investor ini masuk. Ini yang harus diubah, harus sama-sama bangun sektor pariwisata,” katanya.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI Maulana Yusran mengatakan, untuk investasi hotel di daerah yang minim infrastruktur, dibutuhkan biaya yang sangat besar. Pengusaha harus mengeluarkan biaya untuk membangun akses jalan, akses air bersih, ketersediaan listrik dan lain sebagainya.
“Kalau kami, lebih baik ada infrastruktur dasar dibangun dulu baru kami bangun hotel,” ucapnya.
Selain itu, menurutnya, banyak regulasi di Tanah Air yang memberatkan para pelaku usaha hotel dan restoran. Regulasi itu seperti kebijakan pajak dan retribusi daerah, bentuk perizinan yang tidak lagi sesuai dengan dinamika industri, pemanfaatan sumber daya air, tingginya biaya untuk sertifikasi usaha, serta masalah hak cipta.
Rancangan undang-undang atau RUU Sumber Daya Air yang tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR RI juga dinilai membuat ketidakpastian usaha. Pasalnya, RUU ini mencampuradukkan pengelolaan sumber daya air sebagai fungsi sosial dan fungsi ekonomi.
Dalam draft RUU ini, prioritas utama penggunaan SDA untuk kegiatan usaha diberikan kepada BUMN, BUMD, BUMDes, kebutuhan pokok dan pertanian, serta baru yang terakhir pihak swasta.
“Pemberian izin pengggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat,” tuturnya.
Dia juga meminta agar pemerintah daerah dapat mempermudah regulasi dan memberikan insentif bagi pada pengusaha yang berminat masuk membangun hotel di Indonesia. “Kalau aturan di daerah enggak dideregulasi, investor hotel asing juga enggan masuk ke Indonesia buat bangun hotel.”
Sementara itu, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata Dadang Rizki Ratman menuturkan, hingga kini, dari kebutuhan Rp500 triliun yang baru dapat dipenuhi sekitar 35 persen saja.
Oleh karena itu, memang diperlukan komitmen swasta untuk membantu memenuhi pembiayaan. Pasalnya, pemerintah tak bisa bekerja sendiri memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur.
Menurutnya, tugas pemerintah adalah untuk membangun kebutuhan infrastruktur dan sarana pendukung lain berkelas dunia lalu bandara internasional dan pelabuhan/marina.
“Seharusnya investasi swasta di sana jangan ditunggu ketika [infrastrukturnya] sudah jadi. Ini harus bersama-sama. Pemerintah jalan, swasta juga jalan,” katanya.
.