Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan dinamika global menjadi salah satu faktor penyebab membengkaknya neraca perdagangan. Menurut dia, apabila dilihat dari komoditas, pemerintah harus berhati-hati dalam ekspor. Pasalnya, kondisi ekonomi China sedang dalam posisi penyesuaian dari internal atau pun perang dagang dengan AS.
Selain itu sasaran pasar-pasar baru sulit terjangkau karena kondisi ekonomi negara tujuan bertendensi melemah sehingga kemampuan menyerap ekspor akan sangat terbatas.
"Jadi kita perlu sangat hati-hati dalam mengelola, terutama external account kita. Itu tetap sama di mana ekspor masih akan dipacu dari sisi daya kompetisi kita, berbagai kebijakan untuk mendukungnya seperti insentif," ujar Sri Mulyani.
Pemerintah, kata Sri Mulyani, tengah memperbaiki kondisi neraca pembayaran. Ia mengestimasi neraca pembayaran masih defisit, sekitar 3 persen. "Kalau kemarin capital flow yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dari sisi stabilitas, prospek pertumbuhan ekonomi masih baik," tutur dia.
Sri Mulyani mengatakan akan terus mengevaluasi impor dengan terus mengupayakan langkah-langkah seperti kebijakan pencampuran biodiesel 20 persen, peningkatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), hingga pengendalian barang yang diproduksi dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga akan menggunakan instrumen fiskal untuk mendukung industri dalam negeri. "Jadi ini tantangan kita semuanya," kata dia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara jebloknya neraca perdagangan memang disebabkan oleh lemahnya kinerja ekspor sepanjang November. Menurut Bhima, sebagian kinerja ekspor masih sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Misalnya, produk unggulan utama minyak sawit melanjutkan penurunan hingga -9,83 persen dibanding bulan sebelumnya. Menurut Bhima, melorotnya harga minyak sawit disebabkan oleh adanya kelebihan pasokan atau oversupply di beberapa negara, serta hambatan dagang dari beberapa negara khususnya India.