TEMPO.CO, Jakarta - Neraca perdagangan November kembali terjerembab dengan nilai defisit sebesar US$ 2,05 miliar. Badan Pusat Statistik mencatat defisitnya neraca perdagangan terjadi lantaran nilai ekspor sebesar US$14,83 miliar, tidak mampu menopang nilai impor yang lebih tinggi, yaitu impor US$16,88 miliar. Baik nilai ekspor dan impor, masing-masing mengalami penurunan sebesar 6,25 persen dan 4,47 persen dibanding Oktober lalu.
"Kita mengalami defisit yang cukup dalam. Angka defisit ini terbesar sepanjang tahun," ujar Kepala BPS Suhariyanto, Senin 17 Desember 2018.
Baca juga: Defisit Neraca Perdagangan November Bengkak Hingga USD 2,05 M
Tren defisit neraca perdagangan semakin melebar setelah Oktober defisit US$ 1,77 miliar. Padahal, neraca perdagangan sempat surplus pada September lalu, yaitu US$ 0,31 miliar. Suhariyanto menuturkan penurunan ekspor dipicu oleh penurunan ekspor non-migas November 2018 mencapai US$13,46 miliar.
Angka tersebut turun 6,25 persen dibanding Oktober 2018. Selain itu, angka tersebut juga turun dibanding ekspor nonmigas November 2017 sebesar 4,12 persen.
Baca Juga:
Di sisi lai, kata Suhariyanto, nilai impor Indonesia ada penurunan nilai impor November 2018 sebesar turun 4,47 persen dibanding Oktober 2018. Meski impor turun, angka tersebut belum mampu menekan angka defisit neraca perdagangan. Jika dibandingkan November 2017, impor naik 11,68 persen.
Adapun impor nonmigas November 2018 tercatat US$ 14,04 miliar atau turun 4,80 persen dibanding Oktober 2018. Meski begitu, apabila dibanding November 2017 meningkat 8,79 persen.
Suhariyanto menuturkan faktor defisit yang signifikan terjadi pada neraca migas yang nilai defisitnya mencapai US$ 1,46 miliar pada November 2018. "Defisit di neraca migas ini disebabkan defisit yang cukup besar di hasil minyak sebesar US$ 1,58 miliar, sementara gas masih surplus US$ 549,1 miliar ," kata Suhariyanto.
Sementara itu, defisit nonmigas tercatat sebesar US$ 583,2 juta. Secara kumulatif Januari-November 2018, BPS melaporkan neraca perdagangan masih defisit sebesar US$ 7,52 miliar. Posisi ini jauh berbeda dibandingkan tahun sebelumnya yang mengalami surplus US$ 12,08 miliar.
"Diharapkan upaya menggenjot ekspor dan mengendalikan impor lebih baik lagi agar neraca perdagangan dapat kembali surplus ke depannya," kata Suhariyanto.