Bahkan kementerian pertanian telah menyatakan pencapaian swasembada beras. Namunm di sisi lain, menurut dia, perbaikan taraf kesejahteraan petani masih belum optimal. "Peningkatan produksi yang terjadi seharusnya mampu memperbaiki kehidupan keluarga petani padi," ucapnya.
Petani padi yang jumlahnya mencapai 17 juta keluarga, 55,33 persennya petani gurem, (BPS, 2013) seyogyanya menjadi pelaku usaha yang menerima manfaat paling besar. Tapi sayangnya hal itu belum sepenuhnya terjadi, petani masih pelaku yang bekerja paling berat, berpenghasilan paling kecil. "Petani belum berdaulat," ujarnya.
Said mengatakan tidak berdaulatnya petani dalam menentukan harga beras, terungkap dalam kajian Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) yang membedah peta aktor perberasan nasional.
Penelitian tersebut dilaksanakan di sentra produksi padi di jalur Pantai Utara Karawang, Subang dan Jakarta. Kajian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai dengan November 2018. Hasilnya, petani merupakan aktor terpenting dalam rantai produksi beras nasional.
Sayangnya, petani juga terdidentifikasi sebagai aktor terlemah dalam rantai tersebut, terutama dalam hal menentukan harga. "Situasi ini tentu saja tidak adil dan merugikan petani," ucapnya.
Karena itu, diperlukan upaya penguatan rantai nilai dan bisnis gabah serta beras yang berkeadilan dan berkelanjutan. Selain itu, adanya rantai nilai yang adil bagi seluruh pelaku rantai nilai bisa menjadi jaminan keberlanjutan bisnis merupakan tuntutan saat ini.
Menurut dia, untuk menciptakan rantai nilai dan bisnis yang adil dan berkelanjutan tak cukup hanya perlunya pemahaman bersama, namun juga adanya kelembagaan dan tata aturan hingga adanya aksi kolektif dari semua pihak pelaku rantai nilai beras. "KRKP mendorong mendorong perbaikan pendapatan petani melalui perbaikan rantai nilai yang adil."