TEMPO.CO, Jakarta - Tokopedia kembali memperoleh pendanaan. Tak tanggung-tanggung jumlah suntikan modal kali ini mencapai US$ 1,1 miliar atau sekitar Rp 16 triliun, yang berasal dari Softbank Vision Group dan Alibaba Group. Chief Executive Officer (CEO) Tokopedia William Tanuwijaya menuturkan rencananya aliran dana segar itu akan digunakan untuk berekspansi mendorong pengembangan tekonologi dan infrastruktur pendukung.
Simak: Tokopedia Dapat Kucuran Modal Segar Rp 16 Triliun
“Memasuki tahun kesepuluh kami akan mengembangkan ekosistem menjadi infrastructure as a service (IaaS) yaitu teknologi logistic, fulfilment, pembayaran, dan layanan keuangan untuk memberdayakan perdagangan baik online maupun offline,” ujarnya, di Jakarta, Rabu 12 Desember 2018.
William berharap hal itu dapat memperluas skala dan jangkauan Tokopedia sebagai salah satu raksasa marketplace e-commerce tanah air. “Sekaligus meningkatkan efisiensi operasional bagi jutaan bisnis dan mitra dalam ekosistem Tokopedia.”
Hingga saat ini, Tokopedia telah memiliki jangkauan wilayah sebanyak 93 persen kecamatan di seluruh Indonesia. Selanjutnya, gross merchandise value (GMV) perusahaan tahun ini pun telah meningkat empat kali lipat, dengan komitmen untuk terus meningkatkan kualitas layanan, seperti fasilitas pengiriman di hari yang sama (same day delivery) mencapai 25 persen dari total transaksi yang ada.
Head of Investment Southeast Asia and India Alibaba Group, Kenny Ho, mengungkapkan alasan lembaganya menanamkan modal di Tokopedia. “Kami melihat kesamaan dengan misi perusahaan kami yang ingin memberi kemudahan untuk memulai dan membangun bisnis di mana saja, dan hal ini tercermin di Tokopedia,” katanya. Menurut Kenny, Tokopedia dapat menjalankan misi itu dengan berperan dalam pemberdayaan UMKM lokal dan percepatan pembangunan ekonomi domestic.
Industri e-commerce diprediksi akan terus berkembang pesat. Berdasarkan hasil riset Google dan Tamasek yang bertajuk ‘e-Conomy SEA 2018’, omzet e-commerce Indonesia dalam tiga tahun terakhir terus menunjukkan pertumbuhan terbesar dan tercepat dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Adapun hingga 2018, pertumbuhan omzetnya mencapai 94 persen, dengan total nilai US$ 12,2 miliar.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung optimistis pertumbuhan bisnis industri tahun depan berpotensi terus berlipat. “Pertumbuhan masih bisa puluhan sampai ratusan persen tergantung size industrinya, dan penetrasi juga masih bisa lebih jauh lagi,” ucapnya. Begitu pula dengan tren persaingan antar platform e-commerce.
“Harapannya kompetisinya tidak hanya sebatas adu diskon dan promosi, harus naik kelas misalnya adu standar pelayanan,” katanya. Kehadiran investor asing maupun lokal diharapkan juga dapat mempercepat ekspansi dan peningkatan kualitas tersebut. “Standar pelayanan yang dimaksud misalnya dalam penanganan complain yang masuk gimana caranya bisa selesai dalam waktu kurang dari satu jam, atau tingkat complain bisa ditekan drastis.”
Di satu sisi, pertumbuhan industri e-commerce juga diwarnai kekhawatiran akan dampaknya terhadap defisit neraca transaksi berjalan (CAD) Indonesia. Hal itu disebabkan oleh maraknya akses barang impor yang masuk melalui platform e-commerce, sehingga volume impor pun meningkat, dan berpotensi menekan CAD yang pada triwulan III 2018 lalu melebar lebih dari batas aman 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berujar untuk mencegah hal tersebut, platform e-commerce diharapkan dapat memberikan ruang lebih bagi produk lokal. “Perlu ada aturan baku tentang batasan presentase produk impor untuk masuk, apalagi harganya jauh lebih murah, sehingga khawatir produk lokal semakin kalah saing dan kita hanya dimanfaatkan sebagai market saja tidak bisa ekspor balik,” katanya.
Simak berita tentang Tokopedia hanya di Tempo.co