TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, menemukan 14 pelanggaran baru yang dilakukan oleh penyedia jasa financial technology (fintech) pinjaman online atau peer to peer landing. Pelanggaran tersebut bukan hanya dilakukan oleh perusahaan yang tidak terdaftar, bahkan perusahaan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga melakukan itu.
Simak: Fintech Dinilai Bakal Terus Jadi Tren Tahun Depan
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jeanny Silvia Sari menyebutkan 14 pelanggaran tersebut. "Pertama ialah bunga yang tinggi dan tanpa batasan," ujar dia di Kantor LBH, Ahad, 9 Desember 2018.
Jeanny menyebutkan penagihan dilakukan bukan hanya ke peminjam, namun ke kontak milik peminjam. Penyebaran data pribadi juga dilakukan, yang mengakibatkan peminjam mengalami ancaman, fitnah, penipuan, dan pelecehan seksual. Penyebaran foto dan informasi pinjaman disebar oleh penagih ke seluruh kontak milik peminjam.
Selain itu, kata Jeanny, kontak dan lokasi kantor penyelenggara pinjaman online tidak jelas. "Aplikasi berganti nama tanpa pemberitahuan kepada peminjam, sedangkan bunga pinjaman terus berkembang," ujar dia.
Jeanny menyebutkan, peminjam yang sudah membayarkan pinjamannya, transaksinya dihapus dan dilaporkan belum membayar utang. Lalu, penangihan yang dilakukan oleh orang yang berbeda dan dilakukan berkali-kali dalam satu hari.
Data KTP peminjam, ujar Jeanny, juga digunakan untuk pengajuan pinjaman online lain. Dia menambahkan, aplikasi pinjaman online tiba-tiba hilang pada saat jatuh tempo pinjaman. "Virtual account pengembalian uang salah, sehingga ters berkembang penagihan intimidatif," ujar Jeanny.
Pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pinjaman online tersebut, dilakukan oleh 89 perusahaan. Setidaknya, Jeanny menyebutkan ada 25 perusahaan resmi yang terdaftar di OJK.
Jeanny mengatakan, terdaftarnya perusahaan fintech pinjaman online di OJK, tidak menjamin mereka tidak melakukan pelanggaran kepada peminjam. "Ini melanggar tindak pidana dan perdata," kata dia.