TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) terus berupaya menjaga nilai tukar rupiah menjelang 2019. Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menuturkan lembaganya menyiapkan tiga strategi intervensi agar pergerakan kurs dapat stabil. Pertama melalui intervensi di pasar Surat Berharga Negara (SBN), pasar valuta asing (valas), hingga melalui mekanisme baru Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).
Simak: Bank Indonesia: Pelemahan Rupiah karena Sentimen Global
“Kami akan terus berada di pasar untuk memastikan mekanisme pasar berjalan dengan baik,” ujarnya, kepada Tempo, Jumat 7 Desember 2018.
Dody menjelaskan bank sentral berkomitmen untuk semakin memperkaya instrumen lindung nilai (hedging) dengan harga yang lebih murah, seperti swap hedging. “Dan dengan diluncurkannya DNDF juga akan memperluas opsi pelaku pasar untuk mengelola kebutuhan valas-nya,” katanya.
Lelang transaksi DNDF untuk pertama kali telah dibuka pada pertengahan November lalu, yang ditargetkan dapat meraup transaksi hingga US$ 100 juta. Dengan transaksi ini diharapkan rupiah dapat menguat, dan investor juga perbankan dapat terlindungi dari risiko nilai tukar.
Dody menambahkan BI juga akan memperluas dan memperkuat kerja sama bilateral swap antara mata uang lokal dengan sejumlah negara. Terakhir, bank sentral telah bekerja sama dengan Bank of Thailand dan Bank Negara Malaysia untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi antar pelaku ekonomi kedua negara tersebut. “Transaksi akan menggunakan mata uang lokal masing-masing sehingga kebutuhan terhadap dolar AS dapat dikurangi.”
Kurs rupiah sebenarnya telah mengalami penguatan dalam sebulan terakhir. Hal itu ditopang oleh kondisi eksternal yang perlahan mereda seperti penangguhan perang dagang Cina dan AS untuk sementara. Selain itu, aliran modal asing juga perlahan kembali masuk (capital inflow) ke pasar keuangan domestik.
Terbukti, cadangan devisa pada November lalu tercatat meningkat dari US$ 115,2 miliar menjadi US$ 117,2 miliar. Adapun BI dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR beberapa waktu lalu memproyeksikan kurs rupiah sepanjang tahun depan akan berada di kisaran Rp 14.800 – 15.200 per dolar AS.
Meskipun kondisi eksternal secara umum cenderung membaik, Dody mengatakan bank sentral akan tetap waspada terhadap risiko di tengah ketidakpastian yang masih tinggi. “Pergerakan nilai tukar jika dilihat secara harian tentunya akan kental dengan dinamika sentiment pasar, untuk melihat gambaran yang lebih utuh perlu melihat pergerakan rupiah dalam horizon yang lebih panjang,” katanya.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual memprediksi kurs rupiah di 2019 akan stabil di level Rp 14.000 – 15.000 per dolar AS. Angka tersebut menurut dia, masih cukup sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar keuangan hingga pelaku sektor riil seperti eksportir dan importir.
“Tantangannya tahun depan ada dari perang dagang yang mungkin berlanjut, lalu kenaikan bunga acuan The Fed, volatilitas harga komoditas, dan dari internal ada defisit neraca transaksi berjalan (CAD),” ujarnya. David pun mengingatkan bank sentral untuk tetap mewaspadai tingkat inflasi di 2019.
David menambahkan di satu sisi BI dinilai telah memiliki cukup persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan sengitnya perebutan dolar AS tahun depan. “BI sudah siapkan banyak buffer berupa perjanjian swap valas dengan banyak negara, ini bisa menambah confidence pelaku pasar karena ini bisa diakses sewaku-waktu kalau kita butuh likudiitas valas,” katanya.
Bank sentral pun diharapkan dapat berhati-hati dalam melakukan intervensi yang mengandalkan cadangan devisa. “Karena tantangan ke depan masih cukup besar, jadi harus intervensi dengan terukur melihat kondisi terkini.” Adapun BI telah meneken kerja sama bilateral swap di antaranya dengan Cina senilai US$ 30 miliar, Jepang senilai US$ 22,76 miliar, dan Singapura senilai US$ 10 miliar.
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana mengungkapkan prediksi rupiah di 2019 pada awal tahun akan bergerak di posisi Rp 14.725 per dolar AS, sedangkan di akhir tahun melemah ke Rp 14.820 per dolar AS. “Posisi rupiah juga masih akan cenderung melemah seiring dengan kondisi surat utang pemerintah dalam portofolio investasi yang melambat, juga neraca perdagangan ekspor-impor yang masih defisit.”
Simak berita tentang Bank Indonesia hanya di Tempo.co