TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku usaha mulai melirik mata uang pengganti dolar Amerika Serikat (AS) dalam melakukan transaksi perdagangan. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Haryadi Sukamdani berujar dengan langsung menggunakan mata uang negara mitra dagang tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, dan berdampak positif pada stabilitas nilai tukar rupiah.
Baca juga: Sukses di Usia 18, Apa Keistimewaan Produk Pengusaha Muda Ini?
“Selama ini yang kita gunakan adalah dolar AS, kita bisa mulai dengan Cina untuk konversi ini,” katanya, di Jakarta, Kamis 6 Desember 2018.
Haryadi berujar mata uang Cina, yaitu yuan bisa menjadi potensial, mengingat besarnya nilai perdagangan antar kedua negara. “Total nilainya saat ini mencapai US$ 60 miliar, kalau kita bisa mengonversi hingga misalnya US$ 20 miliar saja akan positif dampaknya,” katanya.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Cina juga terus berada dalam daftar lima negara dengan realisasi investasi terbesar ke Indonesia sejak 2016. Bahkan, pesatnya realisasi tersebut membuat Cina mampu menggeser posisi Malaysia, AS, dan Inggris yang sebelumnya terus berada di daftar itu. Adapun hingga triwulan III 2018, nilai realisasi investasi Cina mencapai US$ 483,46 juta.
Haryadi melanjutkan, APINDO juga telah melakukan identifikasi pihak-pihak pengusaha eksportir maupun importir yang bersedia melakukan konversi mata uang dolar AS yang biasa digunakan dengan mata uang mitra.
“Harapannya dampak dari sikap pengusaha ini bisa lebih luas lagi, yaitu rupiah menguat, dan respon positif juga datang dari sektor keuangan yaitu menurunkan suku bunga,” ucapnya. Dengan demikian, tahun depan APINDO berharap kurs rupiah dapat membaik yaitu berada di kisaran Rp 13.800 per dolar AS. “Terlebih tren minyak dunia juga sedang turun.”
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah berujar kesepakatan antar negara untuk menggunakan mata uang masing-masing dalam kegiatan ekspor dan impor sebenarnya telah dijajaki pemerintah sebelumnya.
“Tapi seringkali antara kesepakatan dan realisasi, tidak sepenuhnya berjalan, karena persoalannya tidak semudah itu,” ujarnya. Menurut Piter, seringkali kebutuhan mata uang untuk ekspor dan impor pengusaha kerap berbeda, sehingga tetap akan bergantung pada dolar AS. “Misalnya ekspor ke Cina, tapi dalam pembuatan produk butuh bahan baku impor dari AS atau Eropa, jadi tetap butuh dolar misalnya, kecuali memang ekspor dan impornya hanya dengan Cina.”
Kepala BKPM Thomas Lembong memprediksi nilai tukar rupiah tahun depan masih berpotensi tertekan, meskipun dia optimistis kondisinya akan lebih baik dibandingkan tahun ini. “Kondisi makro dari eksternal tidak kalah beratnya dengan tahun ini, dari sisi suku bunga, dolar akan terus naik, dan masih waspada juga apakah harga minyak tidak akan naik lagi,” katanya.