Pemerintah dinilai memukul rata kualitas buruk pada kelas ini. Sehingga, pengembang mengalami penurunan produksi drastis sebesar 20 persen pada Februari 2018.
“Secara mendasar ini agak berbahaya. Latar belakang ketidakpastian standar teknis ini berpotensi akan menjadi faktor penghambat perumahan bersubsidi pada 2019,” ujar Endang.
Meski begitu, Endang menuturkan permintaan rumah bersubsidi tidak goyah meski diterpa gejolak ekonomi. Selain tingkat backlog masih tinggi, kata dia, pemerintah juga telah menyiapkan beberapa skema untuk mendorong kepemilikan rumah bersubsidi kepada masyarakat, misalnya KPR Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), dan skema Akademis-Bank-Company-Government (ABCG).
Skema tersebut dinilai akan mulai terlihat dampaknya pada 2019. Endang menuturkan ada celah pasar pada rumah seharga Rp 200-250 juta untuk masyarakat berpenghasilan maksimal Rp 7 juta. Ia mengusulkan pemerintah buka skema baru pada kelas ini. “Kami sudah usulkan, pemerintah mengatakan akan mencoba mengkaji lagi,” kata Endang.
Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro sendiri memprediksi sektor perumahan rakyat bersubsidi memang masih memiliki potensi tumbuh karena masih tingginya backlog sebesar 13,7 juta unit pada 2017. Ia mencatat masih ada beberapa provinsi yang memiliki backlog cukup besar, seperti Sumatera Utara, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara.
Menurut Andry, tipe rumah menengah berpotensi untuk tumbuh karena KPR untuk tipe 22-70 semakin besar proporsinya. Meski begitu, yang menjadi tantangan adalah akan ada kenaikan suku bunga KPR pada tahun depan. "Kemungkinan akan ada penundaan pembelian pasca pemilihan presiden," kata Andry.