TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan menetapkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bruto di 2019 sebesar Rp 825,7 triliun, turun dibandingkan target penerbitan di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp 856,49 triliun. Adapun penerbitan bersih SBN sebesar Rp 388,96 triliun, menurun dari tahun ini sebesar Rp 414,52 triliun.
Simak: Arus Modal ke Pasar Sekunder SBN 31,8 T Turut Kuatkan Rupiah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan dalam menentukan strategi pembiayaan tahun depan, kementeriannya telah mempertimbangkan sejumlah faktor eksternal maupun internal.
“Tahun ini terjadi tren kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (Fed Funds Rate) dan peningkatan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) seiring peningkatan indeks dolar di pasar keuangan, hal ini kemudian berdampak pada kenaikan yield SBN dan diperkirakan berlanjut di 2019,” ujarnya, di Jakarta, kemarin. Sedangkan dari faktor eksternal, tantangan yang harus dihadapi adalah tekanan yang bersumber dari defisit neraca transaksi berjalan (CAD).
Sri Mulyani melanjutkan dengan dinamika tersebut, pemerintah pun berkomitmen untuk berhati-hati dalam mengelola pembiayaan dan utang tahun depan. Total utang di 2019 ditetakan sebesar Rp 359,25 triliun. Pembiayaan direncanakan akan dipenuhi dari utang dalam denominasi valuta asing (valas) dan rupiah, baik berupa SBN maupun pinjaman. “Penyusunan strategi dilandasi oleh kebijakan pembiayaan utang yang prudent dan akuntabel.”
Beberapa strategi di antaranya, adalah melalui lelang Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Negara Syariah (SBSN), yang masing-masing diadakan 24 kali. Komposisi penerbitan SUN mencapai 70-75 persen dari penerbitan SBN, sedangkan 25-30 persennya diterbitkan dalam SBSN. Namun, menurut Sri Mulyani hal itu akan bergantung pada kondisi pasar yang terjadi tahun depan. “Fleksibilitas dalam pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan utang untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan APBN,” katanya.
Sedangkan berdasarkan denominasinya, sebanyak 14-17 persen SBN akan diterbitkan dalam valuta asing, dan sebanyak 83-86 persen sisanya dalam denominasi rupiah. “Untuk denominasi valas ditujukan sebagai komplementer dan menghindari crowding out effect di dalam negeri.” Berikutnya, untuk mekanismen non lelang, misalnya bookbuilding bagi investor ritel dan metode penjualan obligasi private placement disisihkan sebanyak 22-24 persen dari penerbitan SBN bruto.
Lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service sebelumnya memberikan peringkat Baa2 dengan outlook stabil untuk SUN yang berdenominasi dolar AS. Vice President Sovereign Risk Group Moody’s Singapura Anushka Shah berujar peringkat yang baik tersebut disematkan karena perekonomian dan stabilitas makro Indonesia dinilai tahan terhadap guncangan. “Hal itu juga ditopang oleh defisit fiskal yang terjaga hingga rasio utang pemerintah yang rendah,” ujarnya.