TEMPO.CO, JAKARTA - Presiden Komisaris Mandiri Capital Indonesia Joseph Georgino Godong mengatakan tren bisnis digital tahun depan tetap akan berpusat di finansial teknologi atau fintech. Dari banyaknya sektor di fintech, peer to peer/ pinjaman akan tetap jadi tren. “Fintech itu di Indonesia bisa maju karena akses keuangan belum merata,” kata Joseph, Senin 3 Desember 2018.
Menurut Joseph, hadirnya fintek merupakan dorongan atas permintaan yang ada. Di daerah, ujarnya, banyak masyarakat yang tak bisa mendapat dana perbankan. Sedangkan meminjam di rentenir masyarakat kerap diberikan bunga yang amat tinggi. Fintek, katanya, bergerak di tengah-tengah ruang tersebut.
Walhasil, tahun depan MCI menargetkan bakal tetap memberi pendanaan di 6-8 start-up fintek. Anak perusahaan Bank Mandiri tersebut mengalokasikan dana hingga US$ 50 miliar untuk menyuntik para perusahaan rintisan tahun depan. “Yang pasti bidang fintek, bisa peer to peer lending, fintech enabler,” kata Kepala Finansial MCI Hira Laksamana. Mendanai fintek, bukan tidak mungkin akan diadaptasi penggunaan di perusahaan induk PT Bank Mandiri (persero) tbk.
Dua tahun terakhir, MCI cukup rajin mendanai fintek dengan alokasi dana Rp 350 miliar. Fintek-fintek tersebut ialah Cashlez, Yokke, Digital Artha Media, Investree, Amartha, dan Koinworks. MCI juga menopang sistem keuangan digital dari start-up non fintek seperti Moka POS, Jurnal, dan Privy yang kini memiliki akses dan kerja sama dengan fintek untuk menyalurkan pinjaman ke mitra usaha kecil yang djalaninya.
Selain Bank Mandiri, PT Bank Central Asia (Tbk) juga memiliki modal ventura perusahaan anak bernama Central Capital Ventura. Presiden Direktur CCV Armand Widjaja mengatakan CCV juga rajin mencari fintek potensial untuk didanai. Transformasi digital, kata Armand, merupakan salah satu program prioritas induk perusahaan di tahun depan. BCA pun merupakan salah satu bank yang sudah menyediakan layanan QR Code layaknya start up seperti Gopay atau WeChat Pay.
Managing Director Plug and Play Indonesia Wesley Harjono mengatakan tren bank yang kefintek-fintekan akan cukup terlihat tahun depan. Akseleratornya belum lama ini mengadakan sesi pitching start-up dengan investor termasuk ke perbankan yang tak memiliki anak perusahaan modal ventura seperti PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. “Ini jadi peluang start-up di sektor fintek,” kata Wesley kepada Tempo.
Tak hanya di bidang keuangan, BTN bahkan menjalin kerja sama dengan aplikator pengawas proyek, Manpro. “Kami kan jalankan pembiayaan program sejuta rumah,” kata Direktur Utama BTN Maryono. BNI pun bakal segera mengakuisisi modal ventura eksisting untuk mendapatkan pasokan fintek yang bisa diadaptasi.
Melansir Otoritas Jasa Keuangan, hingga kuartal III, realisasi penyaluran kredit perusahaan peer to peer mencapai Rp 14 triliun dengan rasio kredit macet 3 persen. Realisasi tersebut meningkat 80 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kantor jasa konsultan internasional atau Pricewaterhouse Coopers (PwC) Indonesia juga menyatakan perkembangan fintech menjadi salah satu risiko bagi industri perbankan nasional.
PwC menerbitkan laporan Indonesia Banking Survei 2018 yang mensurvei 65 responden dari 49 bank di Indonesia. Sebanyak 41% responden dari bank besar menyatakan fintech akan menjadi ancaman serius dalam lima tahun ke depan. “Oleh karenanya, jika perbankan tidak segera berbenah, maka akan ketinggalan," ujar Advisor PwC Indonesia Chan Cheong.
Senior Consultant Angel Investment Network Indonesia Meredith Peng mengatakan fintech tetap jadi obrolan menarik di kalangan investor start-up. “Meski sudah keluar dua nama besar Gopay dan Grabpay,” ujarnya. Fintek seperti sistem pembayaran dan dompet digital, katanya bisa dikoneksikan ke dalam sektor digital lain seperti kesehatan dan pertanian.