TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden di era pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, Boediono, menyebut sistem perekonomian dunia rentan terhadap instabilitas maupun krisis. "Ekonomi global ini adalah ekonomi pasar atau kapitalisme dengan rambu-rambu abad ke-19 pada tingkat global," ujar dia di Djakarta Theater, Jakarta, Rabu, 28 November 2018.
Baca: Kasus Century, Boediono Tiba di KPK Dikawal Pasukan Pengamanan
Menurut bekas Gubernur Bank Indonesia ini, sistem perekonomian berbeda dengan perekonomian nasional memiliki perangkat jauh lebih lengkap untuk mengoordinasikan secara baik kebijakan makro, fiskal, hingga moneter. Dengan kelengkapan perangkat itu, Boediono berujar risiko krisis dalam sistem perekonomian dapat diturunkan. "Rambu-rambu pemerintahan ini belum ada dalam perekonomian global sekarang, sehingga rawan terhadap krisis."
Dalam perekonomian global misalnya, Boediono berujar tidak ada yang bertanggung jawab atas perkembangan krisis yang terjadi belakangan ini. Dampaknya semua negara bingung dan tidak ada satu pun pihak yang bisa mengoordinasi. Oleh karena itu, langkah yang terbaik yang bisa dilakukan suatu negara adalah mengantisipasi datangnya krisis.
Antisipasi krisis, ujar Boediono, dapat dilakukan dengan mewaspadai atau mencermati variabel-variabel yang erat kaitannya dengan indikator krisis ke depan. "Apa yang kita lihat sekarang, bahwa masalah trade war antara para pelaku pasar, misalnya, pasti ada dampak negatifnya terhadap perekonomian dunia," kata Boediono.
Boediono mengatakan dampak negatif yang terasa ke dalam negeri, salah satunya adalah ekspor. Dengan terjadinya perang dagang itu, secara umum nilai ekspor Indonesia bakal mengalami penurunan. Di samping itu, pasar Indonesia juga bisa diserbu barang-barang impor lantaran negara-negara pengekspor ke AS mengalihkan pasarnya ke titik baru setelah adanya kebijakan tarif AS.
Di sisi lain bisa juga ada dampak positif yang direguk Indonesia. Misalnya, kata Boediono, bergeraknya investasi ke dalam negeri karena industri-industri di negara yang sedang mengalami perang dagang tidak bisa berproduksi secara optimal. "Mudah-mudahan saja ada," ujar Boediono.
Persoalan lainnya, adalah harga minyak. Saat ini, harga minyak adalah risiko tersendiri karena tidak bisa diprediksi. Beberapa waktu lalu, harga komoditas tersebut sempat melonjak di atas US$ 80 per barel, sementara sekarang harga itu merosot lagi di bawah US$ 60 per barel.
"Sehingga, harus menjaga risiko naik turun harga minyak agar tidak mempengaruhi kinerja ekonomi di dalam negeri," kata Boediono. "Jangan sampai APBN kita menjadi sandera dari harga minyak di luar."