TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Faisal Basri memperkirakan inflasi mencapai 5 persen pada 2019. Menurut dia, kenaikan inflasi tersebut disumbang kenaikan tarif listrik dan harga bahan bakar minyak (BBM).
Baca juga: Indef Ingatkan Inflasi Rendah juga Tunjukkan Kemampuan Daya Beli
"Laju inflasi tahun depan tinggi karena disumbang penyesuaian harga BBM dan tarif dasar listrik," kata Faisal dalam acara seminar nsasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2019 yang bertajuk "Adu Strategi Hadapi Perang Dagang" di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu, 28 November 2018.
Badan Pusat Statistik mencatat inflasi tahun kalender pada Oktober 2018 mencapai angka 3,12 persen. Inflasi ini tercatat masih berada di bawah tingkat inflasi yang ditargetkan mencapai 3,5 persen sepanjang tahun. Adapun, sejak 2015 hingga 2018, pemerintah tercatat mampu menjaga angka inflasi di bawah 3,5 persen sepanjang tahun.
Sedangkan, hingga saat ini, pemerintah terus menahan laju kenaikan tarif listrik dan juga harga BBM subsidi. Pemerintah bahkan menjanjikan tarif listrik tak akan naik hingga 2019.
Faisal menjelaskan laju inflasi yang tinggi tersebut karena kebijakan pemerintah yang terus menahan kenaikan tersebut. Apalagi saat ini harga minyak dunia terus naik. Sehingga tidak hanya membebani keuangan negara tetapi juga perusahaan pengimpor milik negara yakni PT Pertamina (Persero).
Sedangkan kondisi tarif listrik yang tak naik juga bakal menambah beban keuangan negara dan juga perusahaan khususnya PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN. Karena harga bahan baku batu bara yang juga mengalami kenaikan.
Karena itu, Faisal menerangkan, inflasi yang cukup rendah tersebut juga disumbang penugasan dari pemerintah kepada Pertamina dan PLN. Khususnya untuk tak menaikkan harga tarif listrik dan BBM subsidi. Faisal Basri juga mengatakan jika ini berlanjut tentu bakal membahayakan kondisi kedua perusahaan pelat merah ini. "Distorsi ini enggak bisa berlanjut, kalau berlanjut Pertamina akan lunglai dan PLN akan semaput (pingsan)," kata dia.