TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan relaksasi daftar negatif investasi (DNI) diperlukan untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara tetangga. Perkembangan ekonomi Indonesia terpantau lebih lambat.
Baca juga: Jokowi Minta Sri Mulyani Evaluasi Insentif Pajak Karena...
"Dari data yang ada, perkembangan kita lebih rendah dibanding dengan Vietnam, Malaysia dan Thailand," kata JK di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat, 23 November 2018.
Pemerintah sebelumnya merelaksasi sejumlah ketentuan DNI dalam Paket Kebijakan Ekonomi ke-16. Terdapat 25 bidang usaha yang kepemilikannya 100 persen boleh dimiliki oleh investor asing atau penanaman modal asing (PMA). Harapannya, kebijakan tersebut bisa mendorong substitusi barang impor. Namun, Kamar Dagang dan Industri Indonesia meminta pemerintah menunda paket kebijakan tersebut.
Kalla mengatakan perkembangan negara-negara tersebut lebih pesat lantaran mereka lebih terbuka dengan asing. Indonesia juga harus menawarkan investasi yang menarik agar bisa membuat investor menanamkan modalnya di dalam negeri. Tanpa investasi, sulit untuk mendorong perekonomian.
Menurut Kalla, membuka kesempatan kepada asing bukan berarti menghilangkan ruang untuk pengusaha lokal. Revisi DNI diputuskan dengan tetap mempertimbangkan kepentingan dalam negeri. Salah satunya ialah transfer teknologi saat asing masuk.
Dia mencontohkan, puluhan tahun lalu pembangunan gedung bertingkat di Indonesia selalu ditangani asing. Perusahaan Indonesia hanya berperan sebagai sub kontraktor. Sementara saat ini kontraktor dalam negeri sudah mampu membangun sendiri lantaran ada transfer ilmu pengetahuan.
Kedatangan asing juga disertai aliran valuta asing ke dalam negeri. "Untuk mengurangi defisit CAD itu kan kita butuh lebih banyak lagi devisa masuk," kata Jusuf Kalla.