TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika menyusun syarat baru untuk PT First Media Tbk dan PT Internux (Bolt) yang sempat mengajukan penundaan pembayaran utang penggunaan izin frekuensi. Syarat itu menjadi alternatif bila nantinya regulator tak jadi mencabut izin frekuensi 2,3 GHz kepada dua entitas tersebut.
Baca Juga Bolt Bakal Berhenti Setelah Izin Frekuensi PT First Media Tbk Dicabut
Pelaksana tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ferdinandus Setu, mengatakan detil persyaratan tersebut masih dibahas internal oleh kementerian, melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika. "Ada proposal tandingan dari kami yang isinya lebih ketat," ucap Ferdinandus kepada Tempo, kemarin.
Menurut dia, proposal tandingan masih berbasis dari isi komitmen yang diajukan First Media dan Internux, Senin lalu. Kementerian, Ferdinandus melanjutkan, akan memperjelas skema pembayaran pada negara, termasuk tenggat waktu pelunasan ongkos izin frekuensi 2,3 GHz selama 24 bulan tersebut.
First Media kini menggunakan frekuensi 2,3 GHz di zona 1, yaitu Sumatera bagian utara; serta zona 4 di Jabodetabek dan Banten. Adapun Internux, melalui produk mereka, Bolt, di zona 4 Jabodetabek dan Banten.
Ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi juncto Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, mengharuskan pengguna spektrum frekuensi radio membayar biaya hak penggunaan (BHP).
Kewajiban pembayaran frekuensi pada 2016 dan 2017 yang belum dibayarkan oleh PT First Media adalah Rp 364 miliar. Sedangkan tunggakan PT Internux, yang juga anak perusahaan First Media, sebesar Rp 343 miliar.
Dalam proposal perdamaian, kedua perusahaan berkomitmen mencicil pembayaran hingga batas waktu September 2020. Ferdinandus mengatakan lembaganya menginginkan pelunasan lebih awal. "Kami memang ingin cepat. Jangan sampai proposal mereka hanya untuk mengulur waktu," ucapnya.
Kendati begitu, dia belum bisa memastikan kapan proposal tandingan bisa diserahkan pada manajemen First Media dan Internux. Kementerian juga tengah mengurus piutang BHP sebesar Rp 2,19 miliar dari PT Jasnita Telekomindo, pengguna izin frekuensi 2,3 GHz di zona 12 Sulawesi Utara.
Hingga berita ini ditulis, Tempo belum berhasil mendapat respons manajemen PT First Media Tbk dan PT Internux, terkait rencana pemerintah memberi syarat damai yang lebih ketat Pengacara PT First Media Tbk, Nien Rafles Siregar, pun masih enggan berkomentar. "Bukan mandat saya untuk mengomentari."
Kendati begitu, melalui pernyataan tertulis, kedua perusahaan menyatakan tidak menerima pembelian baru dari pelanggan baik isi ulang (top up) maupun paket berlangganan, untuk sementara waktu. Manajemen mengaku masih mencari mencari langkah penyelesaian terbaik soal BHP dengan Kominfo.
"PT Internux tidak menerima pembelian baru sampai perseroan mendapatkan arahan dan persetujuan dari Kemkominfo,” kata Presiden Direktur PT Internux, Dicky Moechtar.
Ia pun memastikan perusahaan akan patuh terhadap kebijakan pemerintah. "Kami tetap berikan layanan yang terbaik sambil menunggu dan berharap adanya penyelesaian."
YOHANES PASKALIS PAE DALE | KARTIKA ANGGRAENI