TEMPO.CO, Bogor - Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta sejumlah insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah untuk meningkatkan investasi dievaluasi secara ketat efektivitasnya. Hal itu disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers seusai rapat terbatas mengenai kebijakan investasi dan perpajakan di Istana Kepresidenan Bogor, Bogor, Jawa Barat hari ini.
Baca: Prabowo Bandingkan Rasio Pajak di Era Soeharto dan Jokowi
Sri Mulyani mengatakan pemerintah telah memberikan insentif pajak berdasarkan kawasan seperti kawasan ekonomi khusus (KEK), kawasan industri, zona perdagangan bebas dan tempat penimbunan barang. "Nah berbagai insentif ini sekarang diminta oleh Bapak Presiden untuk dievaluasi secara sangat ketat dari sisi efektivitasnya," ucapnya.
Pemerintah, kata Sri Mulyani, juga telah memberikan aneka insentif perpajakan yang telah dinikmati oleh dunia usaha. Salah satunya adalah tax holiday.
Sejak April 2018 sampai bulan ini, ujar Sri, insentif tax holiday telah menarik Rp 162 triliun penanaman modal baru. Ratusan triliun investasi baru itu berasal dari 9 perusahaan yang terdiri atas 8 penanaman investasi baru dan 1 perluasan investasi.
Baca Juga:
Investasi baru itu diperkirakan bakal memperkerjakan 8.000 orang di Indonesia. "Kita akan terus diminta oleh Bapak Presiden untuk menyederhanakan prosesnya dan juga mengevaluasi dari sisi kebutuhan efektivitas dari tax holiday ini untuk betul-betul meningkatkan investasi," kata Sri Mulyani.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani mengatakan insentif bagi industri domestik berupa perluasan tax holiday dalam Paket Kebijakan Jilid XVI diyakini mampu memicu minat investasi yang lebih besar di Indonesia. Namun ia mengingatkan adanya peluang gugatan dari negara mitra melalui World Trade Organization (WTO), terkait dengan libur pajak bagi industri berbasis ekspor.
Pasalnya, menurut Shinta, kebijakan itu berpotensi dianggap sebagai bentuk subsidi bagi produk ekspor Indonesia yang industrinya mendapatkan kemudahan pajak tersebut. “Kebijakan ini bisa membuat negara mitra memberlakukan countervailing meassure kepada Indonesia. Akibatnya, bisa jadi bumerang bagi Indonesia nantinya jika dikenai bea masuk antisubsidi atau antidumping,” ucapnya.
Shinta menjelaskan, berdasarkan kesepakatan WTO mengenai subsidy agreement, terdapat tiga parameter pemberian subsidi yang secara otomatis dilarang. Pertama, kebijakan tersebut spesifik diberikan kepada sektor industri tertentu. Kedua, kebijakan itu secara langsung maupun tidak langsung tekait dengan peningkatan performa ekspor industri tertentu.
Baca: Titiek Soeharto Kritik Janji-janji Swasembada Pangan Jokowi
Ketiga, kebijakan tersebut memberikan manfaat kepada industri terkait. Jika ditilik dari ketiga parameter tersebut, menurut Shinta, maka perluasan pemberian tax holiday dalam Paket Kebijakan Jilid XVI berpotensi dikomplain dan digugat oleh negara mitra di WTO.
BISNIS