Tahun 2000
Kejaksaan Agung menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000. Pada Agustus tahun itu, perkara masuk tahap penuntutan. Namun persidangan berhenti di tengah jalan karena Soeharto dianggap sakit otak permanen.
Tahun 2007
Mentok di jalur pidana, pada 9 Juli 2007 Kejaksaan Agung menggugat Soeharto secara perdata. Yayasan Supersemar termasuk yang digugat jaksa. Hasilnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan jaksa. Yayasan Supersemar dihukum membayar ganti rugi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar. Adapun Soeharto kembali lolos dari gugatan. Pertimbangan majelis hakim, Soeharto menggangsir uang negara atas nama Yayasan Supersemar.
Tahun 2010
Putusan hakim yang mengalahkan Yayasan Supersemar pada 2007 bertahan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Namun, dalam putusan kasasi yang diketuk pada 2010, terdapat kesalahan pengetikan. Nilai ganti rugi yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar tertulis US$ 315 juta dan Rp 139,2 juta, padahal seharusnya Rp 139,2 miliar. Karena kesalahan ketik tersebut, jaksa tak mengeksekusi putusan yang sebenarnya sudah berkekuatan hukum tetap itu.
Tahun 2015
Lima tahun kasus Supersemar mengendap, pada Maret 2015 Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali. Majelis hakim Suwardi, Soltoni, dan Mahdi Sorinda memperbaiki salah ketik pada putusan kasasi 2010. Ganti rugi yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar menjadi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar—total sekitar Rp 4,4 triliun dalam kurs kala itu. Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, saat itu mengatakan putusan peninjauan kembali perkara Supersemar diputus majelis hakim secara bulat.