Putusan hakim yang mengalahkan Yayasan Supersemar bertahan sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Namun, dalam putusan kasasi yang diketuk pada 2010, terdapat kesalahan pengetikan. Nilai ganti rugi yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar tertulis US$ 315 juta dan Rp 139,2 juta, padahal seharusnya Rp 139,2 miliar. Karena kesalahan ketik tersebut, jaksa tak mengeksekusi putusan yang sebenarnya sudah berkekuatan hukum tetap itu.
Lima tahun kasus Supersemar mengendap, pada Maret 2015 Kejaksaan Agung mengajukan permohonan peninjauan kembali. Majelis hakim Suwardi, Soltoni, dan Mahdi Sorinda memperbaiki salah ketik pada putusan kasasi 2010. Ganti rugi yang harus dibayarkan Yayasan Supersemar menjadi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar—total sekitar Rp 4,4 triliun dalam kurs saat itu.
Vonis Yayasan Supersemar Final
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi pada 2015 lalu mengatakan putusan peninjauan kembali perkara Supersemar diputus majelis hakim secara bulat. "Tak ada perbedaan pendapat." Karena hanya memperbaiki salah ketik, menurut Suhadi, peninjauan kembali kasus Supersemar tergolong mudah. "Saya bingung juga, mengapa jaksa baru mengajukan permohonan peninjauan kembali tahun ini?" ujar Suhadi.
Pengacara Yayasan Supersemar, Denny Kailimang, mengatakan pasca putusan itu tak ada lagi langkah hukum yang bisa diambil yayasan untuk mempertahankan asetnya. "Putusan hukum sudah final," katanya kala itu. Masalahnya, menurut Denny, pundi-pundi Yayasan Supersemar tak memadai untuk membayar semua ganti rugi itu.
Baca: Saham dan Rekening Yayasan Supersemar Terancam Disita
Berdasarkan perkiraan Denny, total aset Yayasan Supersemar paling banter hanya Rp 1 triliun. "Kalau kejaksaan dan pengadilan mau mengejar sampai perusahaan penerima dana, terserah mereka," ujar Denny.
BISNIS | MBM TEMPO