TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) dan Bank Sentral Cina atau People’s Bank of China (PBC) memperbarui perjanjian swap bilateral dalam mata uang lokal atau Bilateral Currency Swap Arrangement – BCSA. Perpanjangan sekaligus pertambahan nilai perjanjian tersebut ditandatangani oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, dan Gubernur PBC, Yi Gang.
Baca: Mendag: Indonesia Tidak Ingin Perang Dagang dengan Cina
“Perjanjian tersebut merefleksikan penguatan kerja sama moneter dan keuangan antara BI dan PBC, sekaligus menunjukkan komitmen kedua bank sentral untuk menjaga stabilitas keuangan di tengah berlanjutnya ketidakpastian di pasar keuangan global," kata Perry dalam keterangan tertulis, Senin, 19 November 2018.
Perry mengatakan BI dan PBC telah menyepakati pertambahan nilai BCSA dari CNY 100 miliar atau setara US$ 15 miliar menjadi CNY 200 miliar atau setara US$ 30 miliar. Perjanjian berlaku selama tiga tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan kesepakatan bersama.
Menurut Perry, perjanjian ini juga menunjukkan kuatnya kerja sama bidang keuangan antara Indonesia dan Cina. Ia yakin kerja sama dengan bank sentral lain dapat semakin meningkatkan kepercayaan pasar terhadap fundamental ekonomi Indonesia.
Pada akhir November 2015 lalu, ketika Menteri Perdagangan dijabat oleh Thomas Trikasih Lembong menyatakan penggunaan mata uang Cina, renminbi (RMB), akan mengurangi tekanan nilai tukar mata uang Indonesia terhadap dolar Amerika (USD). Hal ini juga berlaku untuk semua negara mitra dagang Cina lain.
Menurut Lembong, hal yang sama juga telah disampaikan Presiden Joko Widodo kepada Presiden Xi Jinping di sela-sela pertemuan G20. "Sempat tercapai kesepakatan untuk meningkatkan nilai bilateral currency swap arrangement (BCSA) menjadi senilai US$ 20 miliar," ucap Lembong melalui siaran persnya, Jumat, 20 November 2015.
Baca: Indonesia-Cina Sepakati Bilateral Currency Swap US$ 20 miliar
Selain itu, penggunaan renminbi diharapkan dapat meningkatkan investasi Cina di Indonesia dan di negara mitra dagang Negeri Tirai Bambu lain. Jadi defisit yang dialami negara tersebut dapat kembali dalam bentuk investasi. "Investasi RRT (Republik Rakyat Tiongkok) pada pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung senilai US$ 5,5 miliar merupakan langkah awal yang disambut baik pemerintah Indonesia," ujar Lembong.