TEMPO.CO, JAKARTA - Langkah PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) untuk mengakuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia semakin dekat. Setelah mendapat dana dengan merilis obligasi global (global bonds) senilai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 58 triliun, Inalum tinggal menunggu kesepakatan antara pemerintah dengan PTFI terkait isu lingkungan dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) definitif.
Baca juga: Inalum Dapatkan Rating Baa2 atau Stabil dari Moody's
"Sekarang sih kalau di kami, kapan pun perundingan (pemerintah dan PTFI) selesai, kami bisa bayar," kata Direktur Utama PT INALUM Budi Gunadi Sadikin, di Jakarta, Jumat 16 Oktober 2018.
Juru Bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan bahwa proses akuisisi masih cukup panjang. Pembayaran divestasi hanyalah satu dari lima kesepakatan dengan pemerintah. Empat kesepakatan lain yang harus dipenuhi adalah pembangunan smleter, ada peningkatan penerimaan negara, kelangsungan operasi bagi PTFI hingga 2041, dan stabilitas investasi. "Kalau lima kesepakatan itu belum jadi satu kesepakatan, maka belum selesai," kata Riza.
Riza pun mengatakan saat ini urusan lingkungan masih dalam tahap konsultasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dua rekomendasi yang sedang dalam proses adalah terkait Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Pilihan PT INALUM untuk menggunakan obligasi global untuk mebiayai divestasi berubah dari rencana awal dengan mengandalkan dana dari sindikasi bank. Budi mengatakan global bonds dipilih karena pelunasan pinjaman dari sindikasi bank akan sangat tergantung dari suku bunga di London Interbank Offerd (LIBOR). Sedangkan saat ini tren bunganya sedang naik. "Bagusnya global bonds itu kan bunganya fix," kata Budi.
Selain itu, Budi mengatakan obligasi mewajibkan pembayaran cicilan pokok hanya di ujung saja. Berbeda dari pinjaman sindikasi yang cicilannya harus dibayar tiap enam bulan atau setahun sekali. "Jadi secara cash flow lebih bagus," kata Budi.
Pada September lalu, Budi memang mengatakan akan menerbitkan global bond. Saat itu ia menyebut Pasar Saham di Singapura menjadi tujuan karena bisa mernarik lebih banyak investor asing. Awalnya global bonds diterbitkan hanya untuk membayar pinjaman dari sindikasi saja. Namun dalam perkembangannya, Budi menyebut penwaran yang masuk justru lebih besar (oversubscribe).
Obligasi global ini nantinya akan memiliki empat tenor. Yang paling cepat dibayarkan pada 2021 senilai U$ 1 miliar dengan imbal hasil 5,5 persen. Pada 2048, tenor terakhir dibayarkan senilai US$ 750 juta, dengan imbal hasil 6,75 persen.
Angka US$ 4 miliar ini lebih besar dari nilai divestasi yang disepakati sebesar US$ 3,85 miliar. Head of Corporate Communications Inalum, Rendy Witoelar mengatakan bahwa sisa uang sebesar US$ 150 juta tetap akan digunakan. "Sisa dana itu buat refinancing hutang-hutang anggota holding," kata Rendi kemarin.
Rendi pun mengatakan sindikasi bank, berubah menjadi pihak penjamin (underwriter) global bonds ini. Ia menyebut ada tujuh bank yang tergabung dalam sindikasi yakni, BNP Paribas, Citibank, sama Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), Maybank, Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), CIMB, dan Standard Chartered.
Dengan selesainya tahap ini, PT Inalum tinggal menyelesaikan pelaporan persaingan usaha (anti-trust) ke lima negara lokasi Freeport McMoran. Rendi mengatakan saat ini prosesnya telah berjalan seluruhnya. "Dari semua regulator di setiap negara sudah memberi indikasi Desember sudah selsai semua," kata dia.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pilihan INALUM untuk memilih global bonds memiliki resiko jangka panjang. Ia menilai obligasi lebih berat dari sisi cost of borrowing. "Apalagi obligasi berbentuk valas. Karena selisih kurs untuk bayar cicilan pokok dan sekarang era bunga tinggi pasca fed rate naik," kata Bhima.