TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan bahwa tingginya impor dari sektor minyak dan gas menjadi penyebab defisit neraca perdagangan pada Oktober 2018 mencapai US$ 1,82 miliar.
Baca: Langkah Kementerian Keuangan Tekan Defisit Transaksi Berjalan
"Defisit US$ 1,82 miliar itu berasal dari defisit migas US$ 1,4 miliar dan defisit nonmigas US$ 393 juta," kata Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis, 15 November 2018.
Suhariyanto menjelaskan defisit terjadi ketika impor sektor migas dalam periode ini tercatat sebesar US$ 2,9 miliar, sedangkan ekspor migas hanya mencapai US$ 1,48 miliar. Impor sektor migas terdiri atas impor minyak mentah sebesar US$ 878,4 juta, impor hasil minyak mencapai US$ 1,71 miliar dan impor gas sebanyak US$ 311,2 juta.
Sementara itu, ekspor migas terdiri dari ekspor minyak mentah sebesar US$ 418,8 juta, ekspor hasil minyak mencapai US$ 110,6 juta dan ekspor gas US$ 952,2 juta. "Yang membuat defisit dari sektor migas sedikit tertekan adalah nilai ekspor gas yang naik 49,3 persen dan memberikan sumbangan surplus," ujar Suhariyanto.
Nilai impor nonmigas yang mencapai US$ 14,7 miliar ikut memberikan sumbangan pada defisit neraca perdagangan, karena ekspor nonmigas hanya tercatat US$ 14,3 miliar. Secara keseluruhan, BPS mencatat nilai ekspor mencapai US$ 15,8 miliar dan impor sebesar US$ 17,6 miliar pada Oktober 2018.
Dengan demikian, secara kumulatif Januari-Oktober 2018, neraca perdagangan tercatat defisit sebesar US$ 5,5 miliar. Defisit neraca perdagangan tersebut berasal dari nilai ekspor sebanyak US$ 150,8 miliar dan impor sebesar US$ 156,3 miliar.
Baca: BI: Defisit Transaksi Berjalan dan Rupiah Loyo Bisa Berlanjut
Sejak awal tahun, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan dengan India sebesar US$ 7,3 miliar, Amerika Serikat US$ 7,1 miliar dan Belanda US$ 2,2 miliar. Tapi neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit dengan Cina sebesar US$ 15,9 miliar, Thailand US$ 4,3 miliar dan Australia US$ 2,4 miliar.
ANTARA