TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara memprediksi rupiah berpotensi melemah pekan depan. Bhima memperkirakan rupiah bergerak di kisaran Rp 14.650 - Rp 14.800 per dolar Amerika Serikat.
Baca juga: Gubernur BI Perry Warjiyo Ungkap 3 Penyebab Rupiah Menguat Cepat
"Faktornya defisit transaksi berjalan pada kuartal III menyentuh 3,37 persen di atas ekspektasi pasar," kata Bhima saat dihubungi, Ahad, 11 November 2018.
Menurut Bhima pelebaran defisit membuat permintaan dolar sampai akhir tahun terus meningkat, khususnya untuk membiayai impor migas. Tidak hanya Indonesia, kata Bhima, beberapa negara emerging market mengalami kenaikan CAD, seperti Argentina dan Turki.
Bhima menilai, kenaikan CAD menurunkan minat investor masuk kembali ke emerging market dalam jangka pendek. Saat pasar dibuka senin asing kembali lakukan capital flight dengan jual bersih saham dari Indonesia.
Menurut Bhima pekan depan investor akan mencermati rilis data neraca dagang bulan Oktober dengan proyeksi kembali terjadi defisit hingga US$ 700 juta. Untuk sementara pelaku pasar masih dalam posisi hold, dan bagi asing cenderung mencari safe haven seperti pembelian dolar AS. Ini terlihat, kata Bhima dari dollar index meningkat 0,58 persen dalam sepekan terakhir ke level 96,9.
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta memprediksi rupiah bergerak konsolidasi pekan depan. Nafan memperkirakan rupiah pekan depan bergerak di kisaran Rp 14.482 hingga Rp 14.885 per dolar AS.
"Defisit current account mempengaruhi pergerakan rupiah pekan depan, soalnya CAD kita lebih tinggi dari prediksi sekitar US$ 8,8 miliar, secara presentasi 3,37 persen darj PDB. Konsensus memperkirakan US$ 5 miliar, ternyata di luar ekspektasi," kata Nafan.
Nafan mengatakan dolar AS merespons positif dari psuku bunga bank sentral AS atau The Fed yang stabil. Dari sisi pernyataan Jerome Powell, kata Nafan memberikan arah hawkish di mana perekonomian AS berada di tren positif di dukung data angka pengangguran yang dipertahankan di level 3,7 persen.
Sedangkan faktor positif dari dalam negeri, yaitu rupiah atau investor merespons kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia yang stabil di 5,75 persen.
"Terlebih mudah-mudahan para eksportir masih tetap meningkatkan transaksi di tanah air transaksi hedging. Itu bisa menguat rupiah menguat," kata Nafan.
Sentimen dari luar lainnya kata Nafan, investor masih menunggu adanya dialog antara AS dan Cina perihal perdagangan. Sebab, kata Nafan, para pelaku pasar cenderung pesimistis dengan komitmen kedua pihak dalam menghasilkan solusi yang komprehensif agar tidak terjadi perang dagang lagi ke depan.
"Saya yakin negosiasi tidak akan berhenti di situ saja, akan ada negosiasi terus," kata Nafan.
Simak terus berita tentang Rupiah hanya di Tempo.co