TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan aliran modal asing ke pasar keuangan periode 1-9 November 2018 cukup deras yakni Rp 19,9 triliun di antaranya karena menguatnya nilai tukar rupiah.
Baca juga: Gubernur BI Perry Warjiyo Ungkap 3 Penyebab Rupiah Menguat Cepat
Perry mengungkapkan modal asing yang masuk ke Surat Berharga Negara (SBN) pada 1-9 November 2018 ini sebesar Rp 14,4 triliun, sedangkan ke saham mencapai Rp 5,5 triliun. Dengan demikian, portofolio asing masuk terakumulasi sebesar Rp 19,9 triliun. Sementara jika dihitung sejak awal tahun hingga saat ini (year to date/ytd), aliran dana masuk ke SBN mencapai Rp 42,4 triliun. Sedangkan untuk aliran modal ke saham sejak awal tahun hingga saat ini masih tercatat negatif.
"Kami hitung bulan ini ke SBN Rp 14,4 triliun, sehingga kalau SBN secara tahun berjalan, aliran modal asing Rp42,6 triliun. Yang juga cukup baik adalah kembali masuknya aliran modal asing ke saham, bulan ini aliran modal asing ke saham itu Rp 5,5 triliun," kata Perry.
Di instrumen saham, kata Perry, memang masih negatif karena banyak investor yang memindahkan dananya dari saham seiring dinamika suku bunga dan kebijakan ekonomi di pasar keuangan global. Dengan sudah kembali masuknya aliran modal asing ke saham, Perry mengklaim investor global sudah semakin percaya diri untuk berinvestasi di pasar keuangan domestik.
"Aliran modal asing ke SBN yang semakin besar dan juga yang masuk itu juga memberikan rasa percaya diri dari investor global terhadap ekonomi Indonesia," ujarnya.
Setidaknya terdapat tiga penyebab nilai tukar rupiah menguat dalam waktu relatif cepat yakni selama dua pekan terakhir dari level Rp 15.200 ke kisaran saat ini Rp 14.600 per dolar AS.
Pertama karena kepercayaan investor global meningkat karena indikator ekonomi domestik yang membaik seperti laju inflasi hingga Oktober 2018 dan realisasi pertumbuhan ekonomi domestik kuartal III 2018.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III sebesar 5,17 persen secara tahunan (year on year/yoy), yang utamanya didorong konsumsi rumah tangga.
Sementara, inflasi pada Oktober 2018 sebesar 0,28 persen secara bulanan (month to month/mtm) atau 3,16 persen (yoy) yang berarti berada di batas bawah sasaran inflasi.
Penyebab kedua penguatan rupiah dalam beberapa waktu terakhir adalah pemberlakuan pasar valas berjangka untuk domestik atau domestic non-deliverable forward (DNDF).
Operasional DNDF mulai efektif pada 1 November 2018. Perry mengklaim pasokan dan permintaan di pasar DNDF sudah berjalan baik dengan total transaksi selama sembilan hari berjalan mencapai 115 juta dolar AS.
Penyebab ketiga menguatnya rupiah adalah meredanya perang dagang antara AS dan China menyusul rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping pada perhelatan G-20 akhir November 2018. Pertemuan itu diklaim untuk membahas solusi perang dagang antara dua negara yang telah terjadi sejak awal tahun.