Jakarta - Ketua The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Silmy Karim mengingatkan pemerintah bahwa saat ini industri besi dan baja nasional tengah menderita akibat derasnya barang impor masuk ke Indonesia. Tak hanya itu, membesarnya impor juga diikuti permainan curang importir sehingga harga barang bisa dijual lebih murah daripada produk lokal.
Baca juga: Kemenperin Sebut Produksi Baja Domestik Masih di Bawah Kebutuhan
"Industri hancur, utilisasi turun, pabrik yang sudah tidak berproduksi, banyak," kata Silmy usai penandatanganan kesepakatan dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di Kantor SKK Migas, Jakarta Selatan, Jumat, 9 November 2018. Silmy ingin masalah ini diselesaikan segera sebelum industri bangkrut yang bisa berujung pada pemecatan pegawai.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik, pada Rabu, 15 Agustus 2018, impor produk besi dan baja masih berada dalam tren peningkatan dalam tahun ini. Hingga Juli 2018, nilai impor besi dan baja tercatat US$ 996,2 juta atau naik 56,55 persen secara tahunan. Secara kumulatif, sepanjang periode Januari-Juli 2018 nilai impor produk tersebut US$ 5,67 miliar, naik 36,30 persen year-on-year (yoy).
Nilai impor besi dan baja menempati posisi ketiga terbesar untuk periode Januari--Juli 2018, di bawah produk mesin dan pesawat mekanik dan produk mesin dan peralatan listrik. Di sisi lain, impor tak terhindarkan karena produksi dalam negeri yang belum memenuhi konsumsi.
Berdasarkan data Kemenperin, kebutuhan baja nasional diperkirakan mencapai 14 juta ton per tahun. Dari jumlah ini 9 juta ton telah diproduksi di dalam negeri. Terdapat 5 juta ton produksi yang dipenuhi melalui impor. Rata-rata produk yang diimpor merupakan jenis baja yang tidak diproduksi di dalam negeri.
Silmy yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk menyadari, Indonesia tidak menghalangi total besi dan baja impor. Hanya saja, asosiasi yang beranggotakan 193 produsen baja dari hulu dan hilir tersebut, menginginkan ada data yang akurat soal berapa kebutuhan nasional dan berapa yang sanggup dipenuhi sendiri. Itu sebabnya, ia mengkritik tren impor baja Indonesia yang terus naik, di saat tren negara lain di ASEAN justru turun. "Sekarang tidak ada moratorium baja, ini lagi saya dorong," kata dia.
Di sisi lain, kata Silmy, derasnya impor baja ke Indonesia juga diikuti banyak permainan curang oleh para importir. Tak sedikit, importir baja mengubah spesifikasi keterangan baja agar terhindar bea masuk di Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian Keuangan. "Selisih harga bisa 20 sampai 30 persen."