TEMPO.CO, Jakarta - Pergerakan nilai tukar rupiah terus menguat selama tiga hari terkahir hingga mencapai level Rp 14.700 per dolar Amerika Serikat (AS). Merespons hal ini, Ekonom Center of Reform on Economics atau CORE Piter Abdullah Redjadalam mengatakan penguatan signifikan nilai tukar rupiah tersebut memang di luar dugaan.
Baca: Rupiah Stabil, BI: Faktor Regional dan Internasional
Kendati demikian, Piter juga mengatakan bahwa penguatan tersebut bersifat temporer. "Sumber tekanan di global memang sedikit berkurang tapi belum pasti. Sementara di domestik persoalan kita masih ada dan besar yaitu kemungkinan current account deficit kita melewati 3 persen dari PDB," kata Piter ketika dihubungi Tempo, Rabu, 7 November 2018.
Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau JISDOR mencatat rupiah terus menguat. Pada hari ini Rabu, 7 November 2018 rupiah telah menguat ke level 14.764 per dolar AS dari sebelumyan Rp 14. 972 pada Senin, 5 November 2018.
Adapun merujuk pada RTI, rupiah telah menguat ke level Rp 14.695 per dolar AS pada pukul 14.30 WIB. Pada perdagangan hari ini, rupiah tercatat telah menguat sebanyak 0,74 persen sepanjang hari. Adapun selama sepekan terakhir rupiah telah menguat sebanyak 3,27 persen.
Piter menuturkan ada beberapa faktor yang dinilai ikut memperkuat nilai tukar rupiah selama tiga hari terakhir. Pertama, karena yield Surat Berharga Negara (SBN) yang sudah cukup tinggi sehingga menyebabkan spread yield SBN dibandingkan surat berharga di AS melebar.
Dengan Yield yg lebih tinggi SBN menjadi lebih menarik. Faktor kedua menurut Piter adalah adanya perkiraan The Fed yang tidak akan menaikkan suku bunga sebesar sebelumnya. Hal ini dengan pertimbangan bahwa proyeksi inflasi di AS yang akan tertahan.
Kemudian faktor ketiga menguatnya rupiah adalah terkait perang dagang. Menurut Piter, agenda pertemuan antara AS dengan China, meskipun tidak menjanjikan berakhirnya perang dagang tapi memunculkan harapan mengenai berakhirnya kondisi tersebut atau setidaknya tidak akan memperburuk keadaan.
"Harapan-harapan ini mendorong sentimen yang lebih baik terhadap negara berkembang termasuk Indonesia. Dengan yield yang lebih baik, sentimen positif ini mendorong masuknya kembali investor asing ke pasar SBN sekaligus memperkuat rupiah," kata Piter.