TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan calon presiden Prabowo Subianto tentang 'tampang Boyolali' pada beberapa waktu lalu itu dinilai hanya sebagai ilustrasi yang menggambarkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi di Boyolali. Pernyataan Prabowo itu belakangan kemudian berkembang viral dibahas di sejumlah media.
Baca: Ketimpangan Capai Level Terendah, PR Pemerintah Masih Banyak
"Apa yang disampaikan Prabowo adalah komunikasi interaktif dan menyampaikan ilustrasi tentang kesenjangan," kata Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ferry Juliantono dalam konferensi pers di Media Center Prabowo-Sandi, di Jakarta, Selasa, 6 November 2018.
Pernyataan 'tampang Boyolali' itu dikeluarkan, menurut Ferry, karena pada umumnya masyarakat tidak bisa memasuki tempat-tempat mewah dan didapat diakses. Ferry mengaku kaget dan menyayangkan adanya video Prabowo yang diedit dan dipotong secara sepihak sehingga ada kesan sepihak.
"Ketika potongan video yang diedit secara sepihak dijadikan sumber informasi dan itu digunakan Bupati Boyolali pada hari Minggu mengadakan acara melakukan mobilisasi massa, dan saat itu terjadi pembiasan isu yang sengaja upaya menggiring isu primordial," ujar Ferry.
Lebih jauh Ferry mengatakan pihaknya mendapatkan bukti adanya mobilisasi massa yang terdapat unsur aparatur sipil negara dan bukti dokumentasi video pernyataan Bupati Boyolali yang mengeluarkan ujaran kebencian. Dia mengatakan ujaran Bupati Boyolali yang menyebut Prabowo dengan kata-kata tidak pantas, tidak layak dilontarkan oleh seorang kepala daerah.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya mencatat, selama tujuh tahun terakhir, rasio Gini atau tingkat kesnjangan penduduk mencapai level terendah pada 2018. Per Maret 2018, rasio Gini di Indonesia mencapai 0,389 atau turun dibanding pada 2015 di angka 0,408.
Rasio Gini adalah indikator untuk mengukur ketimpangan atau kesenjangan pengeluaran
penduduk. BPS dalam hal ini menggunakan indikator rasio Gini dan distribusi pengeluaran menurut Bank Dunia. Nilai rasio Gini berada di antara 0 dan 1. Artinya, semakin tinggi nilai rasio tersebut, semakin tinggi ketimpangan kesenjangan penduduk.
Berdasarkan data BPS, terdapat delapan provinsi dengan rasio Gini di atas rasio Gini Indonesia. “Gini ratio tertinggi tercatat di Provinsi DI Yogyakarta sebesar 0,441,” seperti dikutip dalam presentasi BPS pada Senin, 16 Juli 2018.
Meski begitu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudistira, mengatakan hal yang lebih penting adalah efisiensi belanja sosial dan pembangunan infrastruktur melalui instrumen fiskal. Dengan begitu, secara berkelanjutan, program-program pemerintah mampu mengurangi penduduk miskin dan mempersempit jurang ketimpangan, yang menjadi kelemahan dari pencapaian pertumbuhan ekonomi.
Baca: Peneliti Megawati Institute Sebutkan 4 Penyebab Ketimpangan di RI
Terkait dengan upaya menekan tingkat ketimpangan itu pula, Bhima berpendapat, selama bantuan sosial (bansos) tepat sasaran dan tidak terlambat, sudah bagus. "Namun bansos itu kan bergantung dari APBN. Jika bansos dipangkas, jumlah orang miskin berpotensi naik," tuturnya, 19 Juli 2018 lalu.
ANTARA