TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia atau AFPI, Sunu Widyatmoko menyatakan bahwa belum laporan yang diterima bahwa anggotanya, perusahan pinjaman online terlibat praktik penagihan yang melanggar hukum hak asasi manusia peminjam.
Baca: Garap Fintech, LINE Bakal Akuisisi 20 Persen Saham Bank KEB Hana
"Kami belum menerima komplain dari masyarakat mengenai anggota kami. Sampai saat ini tidak ada anggota yang teregistrasi di asosiasi melanggar," kata Sunu saat mengelar konferensi pers di Gedung 88 Office, Jakarta Selatan, Selasa, 6 November 2018.
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Jakarta membuka pos pengaduan bagi para peminjam uang dari aplikasi financial technology (fintech) peer to peer lending atau pinjaman online. LBH mencoba menginventarisir dan menyelesaikan mengenai praktik penagihan yang diduga sudah melanggar hukum dan hak asasi manusia dari fintech pendanaan tersebut.
Melansir akun instagram LBH Jakarta, lembaga ini telah menerima laporan dari 283 korban pelanggaran hukum dan HAM dari fintech nakal tersebut sejak Mei 2018. Adapun beberapa hal yang dilaporkan berupa bunga yang tinggi, penggambilan data pribadi hingga cara penagihan yang dinilai melanggar.
Sunu melanjutkan, memang harus diakui bahwa banyak fintech pinjaman online yang belum terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan atau OJK. Akibatnya, fintech tersebut tidak teregistrasi tak bisa tergabung dalam asosiasi.
Saat ini, kata Sunu, fintech jenis pendanaan yang terdaftar dan menjadi anggota AFPI berjumlah 73 buah. Semua fintech yang menjadi anggota dalam asosiasi AFPI tersebut adalah fintech yang telah berizin dan teregistrasi oleh OJK.
Karena itu, Sunu menduga bahwa banyaknya pinjaman online yang dilaporkan kepada LBH Jakarta tersebut adalah ilegal dan tidak terdaftar di OJK. "Yang melakukan penindakan penagihan dilakukan tidak sesuai kepantasan, mereka illegal, tidak terdaftar di OJK," kata Sunu.
Karena itu, Sunu menyesalkan kembali adanya fintech nakal yang diduga melanggar hukum dan melanggar hak asasi tersebut. Ia menilai asosiasi dan industri fintech bisa dirugikan dengan maraknya praktik fintech nakal yang diduga ilegal tersebut.
CEO Dompet Kilat ini juga menilai jika hal ini dibiarkan tentu akan merusak industri pinjaman online yang saat ini masih dalam tahap rintisan. "Jangan sampai merusak industri. Kami perlu menjaga marwag karena kami ingun berpartisipasi dalam industri keuangan yang sehat," kata Sunu.