TEMPO.CO, Jakarta - Moody’s Investor Service memperkirakan pertumbuhan negara kelompok 20 (G20) bakal mencapai puncak pada 2018 sebesar 3,3 persen sebelum turun menjadi 2,9 persen pada 2019.
Baca: Moody's Ingatkan Dampak Negatif Jika Rupiah Terus Melemah
Adapun untuk pertumbuhan negara-negara maju di G20, Moody’s memperkirakan pertumbuhannya akan jatuh menjadi 1,9 persen pada 2019 dari 2,3 persen pada 2018 yang mana hal ini akan mencerminkan performa ekonomi utama, seperti AS dan Jerman.
“Gambaran untuk emerging market di G-20 menjadi lebih beragam, pertumbuhan pada 2019 akan melambat ketimbang 2018 ke sekitar 4,6 persen dari 5 persen,” kata Alastair Wilson, Moody's Managing Director Global Sovereign Risk, seperti dikutip dari pernyataan, Selasa, 6 November 2018.
Adapun perlambatan pertumbuhan itu berarti tantangan bagi peringkat utang setiap negara telah semakin dekat. Tantangan itu terkait tingkat utang swasta dan privat yang dimiliki serta tren jangka panjang mengenai populasi tua dan ketidakseimbangan.
Moody's juga memprediksi peringkat utang global pada tahun depan akan stabil, sesuai dengan perkiraan untuk kondisi fundamental. Hal ini terlihat dari outlook terbaru dari Moody’s yang berjudul Sovereigns – Global: 2019 Outlook Still Stable, but Slowing Growth Signals Increasingly Diverging Prospects yang dirilis pada hari ini, Selasa, 6 November 2018.
Sebanyak 104 negara dari 138 negara yang mendapatkan peringkat utang dari Moody’s memiliki outlook stabil. Sementara 11 persen negara lainnya mendapat outlook yang positif dan 14 persen sisanya memiliki outlook negatif.
“Outlook stabil kami pada 2019 menyeimbangi manfaat keberlanjutan pertumbuhan global terhadap risiko domestik emerging dan geopolitik,” tulis Moody's.
Namun begitu, Moody’s tetap menambah perhatian terhadap kejutan tidak terduga. Pasalnya hal itu dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan keuangan dalam 12—18 bulan ke depan.
Baca: Moodys Pangkas Rating 15 Bank Besar
Moody’s juga mencatat bahwa tingginya tingkat utang, melambatnya pertumbuhan, dan kenaikan suku bunga dapat berisiko menyebabkan kejutan yang dapat merusak keterjangkauan dan keberlanjutan utang. Sementara itu, sejumlah negara emerging market masih rentan terhadap kondisi pengetatan keuangan global dan meningkatnya proteksionisme dagang.
BISNIS