TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Didik J Rachbini, menilai setidaknya ada dua permasalahan ekonomi utama yang harus diselesaikan pemerintah. Kedua masalah itu adalah defisit neraca transaksi berjalan atau CAD dan utang. "Kalau tidak hati-hati, bisa jadi malaikat pencabut nyawa pada ekonomi kita," katanya, di Gedung Hotel Pullman, Selasa, 6 November 2018.
Baca: 4 Tahun Jokowi, Pengelolaan Utang Diklaim Lebih Sehat
Masalah defisit neraca itu, menurut Didik yang juga merupakan Wakil Ketua Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, yang pada akhirnya mendorong nilai tukar rupiah terus melemah. Oleh karena itu, pemerintah diminta tidak menganggap sepele pada pelemahan nilai tukar rupiah.
Didik menilai, pemerintah harus melakukan evaluasi dengan angka nilai tukar rupiah di 5 tahun yang lalu. "Pemerintah jika ingin memberikan solusi, jangan melihat spot pendek saja. Namun, lihat 5 tahun sebelumnya, bahwa nilai tukar tidak pernah turun. Bahkan, 6 tahun sebelumnya dari Rp 8.700 hingga sekarang menjadi Rp 15.000 per dolar AS," ucapnya.
Masalah defisit neraca itu, kata Didik, telah terjadi semenjak krisis ekonomi pada 1998. Ada 5 negara yang terdampak paling besar pada 1998 seperti, Thailand, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Korea. "Namun, pada 2 tahun belakangan ini, krisis nilai tukar hampir seluruhnya sudah positif. Tetapi, hanya tinggal kita yang menderita berat dengan CAD," katanya.
Didik menambahkan hal ini terjadi disebabkan tidak adanya kebijakan nyata yang signifikan oleh pemerintah. Ia mengkritik yang disebut-sebut Presiden Jokowi berupa keberhasilan pembangunan infrastruktur. "Infrastuktur bukan kebijakan ekonomi. Itu hanya membangun salah satu dari program-program dari ekonomi," tuturnya.
Masalah kedua yang sangat mengkhawatirkan, menurut Didik, adalah total utang pemerintah hingga September 2018 mencapai Rp 4.416,37 triliun. Angka itu naik Rp 53,18 triliun dari posisi Agustus 2018 sebesar Rp 4.363,19 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyebutkan bahwa utang pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla sebesar Rp 1.329,9 triliun dalam tiga tahun belakangan ini yakni sepanjang pada 2015-2017 digunakan untuk membiayai sektor-sektor produktif. Sektor produktif yang dimaksud adalah dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
"Belanja pendidikan bukan belanja yang tidak produktif, jadi jangan hanya melihat infrastruktur. Kesehatan juga belanja produktif walaupun bentuknya bukan jembatan maupun jalan," kata Sri Mulyani dalam pemaparan empat tahun kerja Pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa, 23 Oktober 2018.
Baca: 4 Tahun Jokowi, Rizal Ramli Kritik Pertumbuhan, Utang Hingga Kurs
Tambahan utang Rp 1.329,9 triliun selama 2015 hingga 2017 tersebut, kata Sri Mulyani, memang meningkat dari periode 2012 sampai 2014 yang sebesar Rp 799,8 triliun. Namun begitu, total alokasi anggaran untuk sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan juga meningkat.
AQIB SOFWANDI