TEMPO.CO, Bandung -Kepala Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Jawa Barat, Moahmad Arifin Soedjayana mengatakan, koreksi perkiraan produksi padi yang dilansir Badan Pusat Statistik atau BPS menempatkan perhitungan produksi beras Jawa Barat tahun ini defisit. “Luas lahan meningkat, produktivitas per hektare turun, konsumsi per orang terhadap beras naik. Jadi akhirnya menjadi defisit,” kata dia di Bandung, Senin, 5 November 2018.
BACA: Budi Waseso: Data Beras BPS Surplus, Impor Tidak Diperlukan
Arifin menduga defisit itu yang memicu harga beras stabil di atas Harga Eceran Tertinggi atau HET yang ditetapkan pemerintah. “Masalahnya bukan di hilir, tapi di hulu. Akhirnya kita tetap menjaga stabilitas kalau memang harga beras di lapangan menjadi tinggi, atau ketersediaan kurang. Tinggal Bulog melaksanakan Operasi Pasar,” kata dia.
Arifin mengatakan, harga beras medium di Jawa Barat berkisar Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per kilogram. Pantauan Dinas Perindustrian Dan Perdagangan Jawa Barat di pasar tradisional di Kota Bandung mendapati harga beras medium bekisar Rp 10.500 hingga Rp 12 ribu per kilogram.
BACA: Data Beras Dikoreksi, Istana: Kebijakan Bisa Berubah
Arifin mengatakan, angka perkiraan produksi itu perlu di antisipasi menjelang Hari Raya Natal dan Tahun Baru kendati Bulog menyatakan stok beras aman. “Harga beras belum kelihatan naik. Paling nanti menjelang Natal dan Tahun Baru. Saat ini harga beras masih dalam posisi aman,” kata dia.
Arifin mengatakan, mengantisipasi situasi tersebut, Dinasnya tengah mengusulkan penambahan anggaran untuk Operasi Pasar Murah. Anggaran tersebut saat ini hanya diperuntukkan untuk mengintervensi lonjakan harga tinggi saat hari raya keagamaan. “Tahun 2019, kita ingin ada OPM, bukan hanya untuk hari besar keagamaan, tapi juga rutin per triwulan untuk menghandle itu,” kata dia.
Taksirannya, penambahan anggaran OPM menembus Rp 10 miliar di luar dana yang selama ini disediakan setiap tahunnya khusus menghadapi lonjakan harga jelang hari raya Lebaran. “Butuh tambahan Rp 10 miliar dari dana OPM yang biasa Rp 20 miliaran. Tambahan dana itu untuk penetrasi pasar dengan subsidi harga,” kata Arifin.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Dan Peternakan Jawa Barat Dewi Sartika membenarkan soal defisit yang berasal dari perkiraan produksi beras dengan angka konsumsi. Namun dia enggan merincinya karena masih memastikan angka indikator yang dipergunakan Badan Pusat Statistik. “Kita ingin memastikan datanya,” kata dia saat dihubungi Tempo, Senin, 5 November 2018.
Dewi meminta masyarakat jangan panik. “Semua data dari BPS harus disikapi. Harus ada strategi baru kalau memang datanya seperti itu,” kata dia.
Dewi enggan berkomentar banyak soal data terbaru perkiraan produksi padi tahun ini yang belum lama dilansir BPS. “Ini jadi evaluasi juga buat kita, evaluasi situasi kondisi di lapangan,” kata dia.
Awal November 2018, Badan Pusat Statistik Jawa Barat merilis data luas panen dan produksi padai Jawa Barat tahun 2018 dengan perbaikan metodologi perhitungan data produksi beras dengan metode Kerangka Sampel Area atau KSA. BPS Jawa Barat melansir luas panen padi Jawa Barat periode Januari-September 2018 sebesar 1,433 juta hektare. Sementara dengan menghitung potensi panen hingga Desember 2018, luas panen Jawa Barat tahun 2018 mencapai 1,692 juta hektare.
BPS Jawa Barat merilis produksi padi peroden Januari-September 2018 sebesar 8,108 juta ton gabah kering giling. Dengan menyertakan potensi produksi hingga Desember 2018, maka total produksi padai Jawa Barat tahun 2018 diperkirakan menembus 9,539 juta ton gabah kering giling. Dengan angka konversi beras tahun 2018, maka produksi padi Jawa Barat tersebut setara 5,48 juta ton beras.
Sebelumnya, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat, Hendy Jatnika mengatakan, koreksi data produksi beras Jawa Barat mengacu data BPS tersebut relatif tajam. Angka ramalan BPS di awal tahun, produksi padi Jawa Bart menembus 12,1 juta ton gabah kering giling.