TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan keputusan Amerika Serikat terkait pemberian fasilitas bea masuk rendah bagi produk ekspor Indonesia akan diumumkan pada November 2018. Saat ini, Amerika sedang meninjau ulang penerapan sistem preferensi umum atau generalized system of preference (GSP) terhadap produk Indonesia.
Baca juga: Menteri Perdagangan: PPh Barang Impor Naik Tak Langgar Aturan WTO
"Belum (selesai), nanti November. Kita hanya tinggal satu soal mengenai data. Data localization soal perubahan PP 82-nya," selepas menghadiri acara Forum Medan Merdeka Barat 9 di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Selasa, 23 Oktober 2018.
Proses kajian dari Amerika ini sedikit terkendala lantaran Indonesia saat ini juga memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. PP ini mewajibkan perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia juga menempatkan pusat datanya di Indonesia.
Akan tetapi, peraturan ini tengah direvisi dan pemerintah membuka peluang untuk mengizinkan data tersebut untuk diolah di luar negeri. Oleh sebab itu, Amerika ingin mendapatkan kepastian terlebih dahulu soal aturan tersebut sebelum menyampaikan pengumuman soal GSP.
Sebab, dalam mengevaluasi GSP, Amerika memiliki sejumlah daftar tertentu. Selain soal penempatan data center ini, ada juga soal asuransi, pertanian, gerbang pembayaran nasional, hingga hak kekayaan intelektual. "Menurut mereka, kok dihambat-hambat di Indonesia, ini itu," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution di kantornya, Jakarta Pusat, 13 Juli 2018.
Meski pemberian fasilitas ini masih berproses, Enggar menyebut tak ada lagi kendala, khusus di bidang perdagangan. Kedua negara, sudah menyetujui peta jalan untuk menjadikan nilai perdagangan menjadi US$ 50 miliar atau dua kali lebih besar dari total perdagangan di tahun 2017 yang hanya US$ 25,9 miliar. "Kami sudah sepakati roadmapnya dan mereka sudah sepakati, tidak ada masalah," ujar Mendag.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara mengatakan revisi PP 82 Tahun 2012 itu dilakukan demi menyesuaikan dinamika yang ada di dunia perusahaan digital.
Hanya saja, pemerintah ingin agar data-data yang bersifat strategis bisa tetap berada di dalam negeri. "Contohnya pertahanan dan intelijen. Itu tidak boleh di luar negeri. Yang bersifat strategis harus ada di dalam negeri, tidak ada tidak," ujar dia di lokasi yang sama.
FAJAR PEBRIANTO | CAESAR AKBAR | HANGGITYO HANGGI