TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah hanya merujuk pada metode Kerangka Sampel Area (KSA) untuk menghitung produksi beras. Lalu bagaimana dengan proyeksi Kementerian Pertanian yang selama ini berbeda dengan kondisi di lapangan?
JK tak menjawab tegas saat diberi pertanyaan tersebut. Dia hanya menjelaskan tugas Menteri Amran Sulaiman. "Tugas Menteri Pertanian menanam padi, menanam, di sawah yang sudah dihitung (menggunakan metode KSA)," katanya di kantornya, Jakarta, Selasa, 23 Oktober 2018.
Baca juga: Jusuf Kalla Ungkap Tantangan Menghadapi Revolusi Industri
JK mengatakan, penghitungan produksi beras Kementerian Pertanian selama ini tidak akurat. Data itu tak akurat lantaran tidak mempertimbangkan luas lahan panen yang berkurang. "Luas sawah berkurang terus, tapi tidak dikurangi di penghitungan. Makanya naik terus (data pasokan) beras itu, padahal sebenarnya tidak," ujarnya.
Kementerian Pertanian sebelumnya memprediksi produksi gabah sebesar 80 juta ton atau 46,5 juta ton setara beras pada 2018. Dengan asumsi konsumsi beras nasional diperkirakan hanya 33,47 juta ton, kementerian memperkirakan surplus beras sebesar 13,03 juta ton.
Data yang dihasilkan terlalu tinggi dibandingkan data mutakhir Badan Pusat Statistik (BPS). Data itu dihitung menggunakan KSA yang memanfaatkan citra satelit dan pengecekan ke lapangan langsung.
BPS menyatakan, produksi gabah tahun ini sebanyak 56,54 juta ton atau setara 32,42 juta ton beras. BPS memprediksi konsumsi sebanyak 29,57 juta ton per tahun sehingga ada surplus sebanyak 2,85 juta ton.
Jusuf Kalla mengatakan data produksi beras tak pernah akurat sejak 20 tahun lalu. Untuk itu sejak 2015 pemerintah menghitung produksi beras menggunakan metodo baru yang lebih mutakhir sehingga data yang didapatkan akurat.