TEMPO.CO, Jakarta - Defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan disebut-sebut sebagai salah satu pemicu lesunya industri farmasi belakangan ini. Keluhan itu di antaranya disampaikan oleh Michael Wanandi, Presiden Direktur PT Combiphar.
Baca: Urusan Defisit BPJS sampai ke Presiden, Jokowi: Kebangetan
Michael menjelaskan, saat ini pasar produk obat dari industri farmasi semakin tersedot kepada pengguna Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Di saat yang sama, BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara tunggal Sistem JKN terus mengalami defisit.
Akibatnya, perusahaan farmasi yang memasok obat untuk JKN kesulitan memperoleh kepastian pembayaran yang harus diterima karena penyelenggara bermasalah pada arus kasnya. "Ini (piutang) memberatkan terutama bagi (farmasi) swasta kalau tidak dibayar tepat waktu," kata Michael di sela-sela acara temu media pra pertandingan golf Combiphar Players Championship di Jakarta, Rabu, 17 Oktober 2018.
Selain masalah ketepatan waktu pembayaran piutang oleh BPJS Kesehatan, industri farmasi juga ditekan oleh model pengadaan obat segmen ini. Seperti diketahui, untuk pemenuhan obat nasional pemerintah melakukan lelang melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah atau LKPP.
Industri yang dianggap mampu memenuhi permintaan obat secara nasional dengan penawaran harga paling murah, kata Michael, akan ditunjuk sebagai pemenang. Kontrak pemenuhan ini dilaksanakan dalam jangka yang relatif pendek.
Perusahaan farmasi, kata Michael, selama ini melakukan ekspansi kalau melihat ada peluang. "Nah seiring era BPJS, volume (permintaan obat memang) meningkat namun margin menjadi semakin tipis (akibat model lelang mencari yang produsen obat paling murah)," katanya.
Dengan tanpa kepastian bakal menang dalam LKPP itu, Michael menyatakan perusahaan sulit melakukan ekspansi dengan berinvestasi membangun fasilitas manufaktur baru. "Padahal untuk satu pabrik obat, perusahaan harus memastikan uangnya dapat kembali paling cepat dalam 5 tahun," ucapnya.
Oleh karena itu, Michael mengharapkan pemerintah memperbaiki struktur pengadaan obat nasional pada segmen BPJS Kesehatan itu. Dengan pembenahan model bisnis, maka kepastian obat dalam jangka panjang yang terus naik tinggi dapat terpenuhi oleh industri dalam negeri. "Kami sendiri ada bisnis sekitar 15 persen pada segmen BPJS, walau tidak sebesar pelaku industri lain tentu tetap terasa dampaknya," tuturnya.
Selain masalah BPJS Kesehatan, Michael menyebutkan industri farmasi kini menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah dan sentimen kenaikan suku bunga bank sentral AS belakangan ini. Industri farmasi sangat bergantung dengan bahan baku impor.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebelumnya menegaskan seharusnya persoalan defisit BPJS Kesehatan bisa diselesaikan di tingkat kementerian. "Ini urusan Direktur Utama (Dirut) BPJS [Kesehatan], enggak sampai ke Presiden," katanya dalam Kongres Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) di Jakarta, Rabu, 17 Oktober 2018.
Baca: Dikritik Jokowi, BPJS Kesehatan: Tandanya Beliau Peduli
Jokowi mengaku tahu bahwa masalah defisit yang dialami BPJS Kesehatan berawal dari urusan pembayaran rumah sakit. "Saya ngerti. Sampai di meja saya sebulan atau lima pekan lalu," katanya. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 10,98 triliun.
BISNIS