TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) Budi Gunadi Sadikin mengatakan belum ada sepeser pun uang yang dikeluarkan untuk pelunasan transaksi dalam proses akuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Untuk menyelesaikan proses ini, PT Inalum harus menyelesaikan pembayaran sebanyak senilai US$ 3,85 miliar atau setara Rp 57,75 triliun (kurs Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat).
"Belum ada," kata Budi saat menjawab pertanyaan sejumlah anggota Komisi Energi terkait perkembangan akuisisi Freeport, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Energi DPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 17 Oktober2018.
Pembayaran memang belum dilakukan karena baru akan dimulai pada November dan ditargetkan selesai pada Desember 2018. Budi mengatakan pembayaran juga akan diselesaikan setelah isu lingkungan rampung. "Kami kerja sama dengan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) agar isu lingkungan ini bisa diselesaikan dengan baik," ujarnya.
Sebelumnya pada Maret 2018, Badan Pemeriksa Keuangan merilis potensi kerugian negara akibat kerusakan ekosistem akibat limbah Freeport sekitar Rp 185 triliun. Laporan itu ditindak lanjuti KLHK. Sehingga, pada Juli 2018, KLHK mencatat ada 48 poin kelemahan Freeport dalam pengolahan lingkungan.
Tapi, menurut Menteri Lingkungan Siti Nurbaya saat itu, perusahaan telah melakukan perbaikan sehingga 35 poin di antaranya sudah selesai. Dari 13 poin yang belum selesai itu, yang paling berat persoalan tailing. Soal tailing yang belum tuntas, kata Inspektur Jenderal KLHK Ilyas Assad menjelaskan, akan diatasi dengan peta jalan penanganan yang digarap perusahaan dengan supervisi KLHK.
Pemerintah berharap peta jalan bisa selesai pada Oktober ini. Dokumen itu akan menjadi acuan penerbitan IUPK. Tapi, menurut Ilyas, tak perlu menunggu peta jalan rampung untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). KLHK akan menerbitkan semacam rekomendasi, yang mengacu pada prinsip peta jalan, sebagai dasar bagi Menteri ESDM untuk mengeluarkan IUPK. “Tidak perlu (menunggu) selesai. Yang penting prinsip-prinsip dasarnya sudah selesai.”
Akan tetapi dalam rapat ini, Budi mengatakan bahwa pihak yang bertanggung jawab mengenai isu lingkungan ini adalah PT Freeport Indonesia. Lantaran, proses pembayaran belum selesai dan Inalum masih menjadi pemegang saham minoritas dengan kepemilikan 9.36 persen saham. "Kalau isu lingkungan tidak selesai, IUPK tidak akan terbitkan, kemudian kami tidak mungkin membayar karena IUPK tidak ada," ujarnya.
Sementara itu Wakil Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan bahwa perusahaan terus menyelesaikan poin-poin dalam temuan KLHK ini, termasuk mengenai persoalan tailing. KLHK memang menemukan 48 poin kelemahan namun dipadatkan sehingga menjadi 30 instruksi. "24 sudah selesai, 6 masih butuh waktu, memang perbaikan kan perlu proses," ujarnya.
FAJAR PEBRIANTO I MAJALAH TEMPO