TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Agustinus Prasetyantoko menilai nilai tukar rupiah di level Rp 15.000-an per dolar AS saat ini merupakan titik keseimbangan (ekuilibrium) baru yang mencerminkan kondisi fundamental perekonomian Indonesia. Oleh karena itu ia menilai angka tersebut pas bila menjadi acuan asumsi kurs Rp 15.000 per dolar AS di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2019.
Baca: Kurs Rupiah RAPBN 2019 Dipatok di Rp 15.000 per Dolar AS
Prasetyantoko memperkirakan kurs rupiah akan sulit kembali menguat daripada level saat ini mengingat ketidakpastian global diperkirakan masih akan berlanjut hingga 2019. Walhasil, arus modal asing yang masuk ke Tanah Air tidak akan sederas tahun-tahun sebelumnya dan likuiditas cenderung ketat.
"Dengan pasokan dan likuiditas yang terbatas, kita tidak akan kembali ke Rp 13.000 atau Rp 14.000. Dan Rp15.000 inilah titik keseimbangan baru buat rupiah kita," ujar Prasetyantoko yang juga Rektor Universitas Katolik Atma Jaya itu, Rabu, 17 Oktober 2018.
Kendati ketidakpastian ekonomi global masih membayangi ekonomi Indonesia dari sisi eksternal, Prasetyantoko yakin pelemahan rupiah tidak akan terjadi lebih dalam lagi. Ia mencontohkan kondisi ekonomi menjelang tahun politik pada 2013 lalu dengan rupiah juga sempat tertekan, namun kemudian dapat kembali bangkit setelah ada kepastian pemenang pemilu.
"Kira-kira situasinya mirip dan kita dapat take off dari situasi itu. Tampaknya kita tidak perlu terlalu worry, mungkin rupiah akan melemah sedikit tapi melemah tajam rasanya tidak," kata Prasetyantoko.
Lebih jauh, Prasetyantoko menambahkan, dalam jangka pendek, langkah Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan sudah tepat untuk meredam gejolak terhadap rupiah. Ia memperkirakan suku bunga akan kembali dinaikkan apabila Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve kembali menaikkan suku bunganya.
Kendati demikian, lanjut Prasetyantoko, dalam jangka menengah panjang kinerja ekspor harus dapat diperbaiki sehingga defisit transaksi berjalan dapat ditekan dan nilai tukar pun dapat lebih tahan dari gejolak eksternal. "Secara strategis struktural, problem domestik kita yaitu impor lebih besar dari ekspor. Jangka menengah, ekspor harus didorong sehingga bisa melebihi impor dan kita terbebas dari situasi defisit transaksi berjalan seperti sekarang ini," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Grup Surveillans dan Stabilitas Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dody Arifianto mengatakan, fenomena super dolar memang memberikan tekanan terhadap nilai tukar di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Pelemahan rupiah tidak lepas dari normalisasi kebijakan The Fed dan juga ketegangan perang dagang antara AS dan China serta sejumlah negara yang diperkirakan masih akan terus berlanjut.
Meski begitu, upaya pemerintah melakukan reformasi seperti realokasi subsidi BBM, menggenjot pembangunan infrastruktur, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi dunia usaha, diapresiasi oleh pasar. "Dengan kondisi yang di-trigger oleh hal-hal tersebut, semoga Rp 15.200 - Rp 15.300 itu adalah suatu ekuilibrium baru," ujar Dody.
Baca: Rupiah Terus Melemah, Ini Saran Dato Sri Tahir untuk Pengusaha
Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Rabu ini mencapai Rp 15.178 per dolar AS. Angka itu menguat dibandingkan hari sebelumnya Rp 15.206 per dolar AS.
ANTARA