TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan pemerintah yang batal menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium berpengaruh pada PT Pertamina (Persero). Meski begitu, perusahaan pelat merah itu tetap yakin kondisi keuangan baik-baik saja.
Baca: Maju Mundur Kenaikan BBM, Komunikasi Kabinet Jokowi Dipersoalkan
“Kondisi keuangan kita baik-baik saja di semester I/2018. Ada tekanan harga minyak, nilai tukar memang pasti menekan Pertamina,” ujar Sekretaris Perusahaan Pertamina Syahrial Muchtar, Kamis, 11 Oktober 2018.
Berdasarkan data Pertamina, harga keekonomian Premium pada Januari 2017 sebesar Rp 6.900 per liter. Saat itu, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) di level US$ 51,09 per barel.
Bandingkan dengan ICP September 2018 sebesar US$ 74,88 per barel dan harga keekonomian Premium jauh di atas Rp 6.900 per liter. Apalagi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada saat ini lebih rendah dibandingkan dengan Januari 2017.
Tak hanya itu, selain selisih harga jual, volume penjualan BBM dengan kadar oktan (research octane number/RON) 88 pada tahun ini lebih besar dibandingkan dengan realisasi pada 2017 sebanyak 7,03 juta kiloliter (kl). Di sisi lain, Pertamina mengakui terbebani dalam hal distribusi Premium karena harga minyak mentah terus naik dan nilai tukar rupiah melemah.
Syahrial menjelaskan, kondisi keuangan perusahaan itu tak tergangu karena beban itu masih bisa dikompensasi dari hulu migas yang masih menguntungkan. "Beban penjualan Premium kompensasinya di-support dari proyek yang diberikan pemerintah," katanya.
Adapun proyek-proyek di hulu migas yang diberikan pemerintah sebagai support merespons beban penjualan Premium "Proyek-proyek yang sedang berjalan, itu grow down dan memang baru dirasakan 2 tahun mendatang," ucapnya.
Walaupun tertekan di sektor hilir, Pertamina tetap meraup keuntungan di sektor hulu. Syahrial mencontohkan capaian anak usaha seperti PT Pertamina EP. Tidak hanya itu, pertumbuhan konsumsi Perta Series juga membantu menutup beban di sektor hilir.
Ke depan, Pertamina optimistis kinerja keuangan dapat lebih baik, dengan rencana kerja yang terus diarahkan menekan impor. "Masalah laba jelas ada penyesuaian, dan sedang kami ajukan revisi RKAP-nya. Maaf kami belum dapat sampaikan sekarang," kata Syahrial.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Ramson Siagian menyebut bahwa beban keuangan Pertamina akan semakin melebar dengan tidak adanya penyesuaian harga BBM jenis penugasan, yaitu Premium. Dari hasil rapat kerja dewan dengan Pertamina, kinerja keuangan perseroan pada tahun ini cukup mengkhawatirkan.
“Kami sudah melihat kinerja keuangan mereka , tetapi tentu tidak bisa terbuka soal ini. Akan tetapi, menurut kami, itu berat. Apalagi mereka perlu investasi untuk mengelola berbagai blok terminasi,” kata Ramson.
Politikus dari Partai Gerindra ini mengungkapkan, kendati sektor hulu migas Pertamina memberikan dukungan, tetapi sektor hulu belum dapat menutupi beban usaha di sektor hilir migas. Padahal dengan penundaan itu, selisih harga jual dan tingkat keekonomian Premium semakin lebar.
Selain itu, lanjut Ramson, dengan kondisi melemahnya nilai tukar rupiah ditambah dengan melonjaknya harga minyak dunia, setidaknya sekitar US$ 2 miliar devisa tergerus atas impor minyak mentah maupun produk BBM. “Benar kalau Pertamina tidak pernah bicara beban penjualan Premium karena otoritasnya di pemerintah,” ucapnya.
Baca: Begini Penjelasan Dirut Pertamina soal BBM Premium Batal Naik
Sementara itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno mengatakan, kenaikan harga seri Pertamax dan Perta Dex di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum telah sangat membantu kinerja Pertamina. Ia mengklaim keuangan Pertamina saat tetap dalam kondisi baik meski tidak menaikkan harga BBM Premium.