TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Ekonomi Universitas Gadjah Mada, A Tony Prasetiantono menilai saat ini bukanlah saat yang baik bagi pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium. Sebab, saat ini rupiah masih dalam kondisi yang lemah.
Baca: Harga BBM Premium Batal Dinaikkan, Ini Pertimbangan Jokowi
"Bukan saat yg baik, karena rupiah masih lemah. Namun kenaikan harga minyak dunia sudah sedemikian tinggi, jauh di atas asumsi APBN yang US$ 48 per barel," ujar Tony kepada Tempo, Rabu, 10 Oktober 2018.
Berdasarkan Jakarta Interbank Dollar Rate, kurs menginjak Rp 15.215 per dolar Amerika Serikat pada Rabu, 10 Oktober 2018. Menurut Tony, pemerintah tidak memiliki pilihan lain, selain menaikkan harga premium.
Pasalnya, menurut Tony, harga minyak mentah dunia yang terus merangkak naik dan kini menembus US$ 80 per barel. "Namun, ada harapan tahun depan harga minyak dunia bisa turun, seiring dengan peningkatan produksi shale oil di AS, yang puncaknya bakal terjadi pada 2020."
Kenaikan harga BBM bersubsidi itu, kata Tony, perlu diambil dalam rangka menyehatkan fiskal. Jika tidak dinaikkan,subsidi BBM bakal melonjak dari Rp 100 triliun menjadi Rp 150 triliun.
Walaupun berdasarkan sejarah, Tony mengatakan, besar subsidi saat ini belum sebesar pada tahun 2014 yang lalu. "Subsidi BBM dan listrik pernah mencapai rekor Rp 350 triliun pada 2014, akibat harga minyak dunia melebihi US$ 100 per barel," kata dia.
Hal itu merespons Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM, Ignasius Jonan yang mengumumkan rencana kenaikan harga BBM Premium menjadi Rp 7.000 per liter mulai kemarin, Rabu, 10 Oktober 2018. Namun belakangan pemerintah membatalkan rencana kenaikan harga BBM Premium itu karena PT Pertamina (Persero) belum siap jika harus dua kali menaikkan harga BBM per hari.
Jonan menuturkan rencana kenaikan harga BBM tersebut dipicu oleh harga minyak mentah dunia yang juga ikut naik sejak awal tahun lalu. Menurut mantan Menteri Perhubungan tersebut, harga minyak mentah jenis Brent telah naik sebanyak 30 persen sedangkan kenaikan ICP telah naik sebanyak 25 persen. "Ini pertimbangannya karena naik terus ini ICP, kurang lebih 25 persen, karena Pertamina belinya minyak bagian ini naik terus. Karena itu pemerintah sesuai arahan Presiden, premium dinaikkan," kata dia.
Sementara itu, ekonom Instute For Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut inkonsistensi kebijakan energi yang dilakukan pemerintah menciptakan sentimen negatif kepada pasar. "Selain di pasar keuangan, juga investor yang ingin masuk ke sektor minyak dan gas jadi hold dulu. Memasuki tahun politik, risiko kebijakan makin besar," ujar Bhima kepada Tempo, Rabu, 10 Oktober 2018.
Berdasarkan prediksi Bhima, kebijakan tidak konsisten pemerintah itu bakal mengantar rupiah melemah ke level Rp 15.240-15.270 per dolar AS di hari berikutnya. Selain itu Indeks Harga Saham Gabungan diprediksi anjlok ke level 5.800, setelah ditutup pada level 5.820,668 pada kemarin sore.
Baca: Pemerintah Sempat Akan Naikkan Harga BBM Premium, Ini Sebabnya
Sementara, akibat pembatalan kenaikan harga BBM itu, para investor asing kemungkinan juga akan memasang posisi jual dan posisi tahan. Sementara calon investor yang asalnya berniat masuk ke Indonesia diperkirakan akan pindah ke pasar lain. "Ini dalam seminggu net sells asing sudah keluar Rp 4,2 triliun dari pasar saham," kata Bhima.