TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Bank Dunia, Kim Young Jim dan juga Wakil Presiden Jusuf Kalla dijadwalkan hadir dalam Pertemuan IMF-World Bank di Nusa Dua Bali, pada Rabu, 10 Oktober 2018. Keduanya dijadwalkan hadir dalam acara seminar yang membahas mengenai "Disaster Risk Financing and Insurance in Indonesia di Ruang Mangupura, Bali International Convention Center.
Baca: Begini Kemewahan Kendaraan di Pertemuan IMF - World Bank
Awal Februari 2018, Bank Dunia memang mengeluarkan obligasi katastrofe senilai US$ 1,4 miliar untuk membiayai bencana gempa bumi di Peru, Meksiko, Cili, dan Kolombia, seperti dikutip dari The Financial Times. Sementara Sri menyebut jangka waktu pembiayaan itu berlaku hingga 2022. Sebelumnya, Bank Dunia telah membiayai penyelamatan terhadap dampak gempa bumi di Kolombia, Cili, dan Peru selama tiga tahun, dan dua tahun untuk Meksiko.
Obligasi katastrofe belakangan menjadi popoler untuk mengatasi risiko besar pembiayaan terhadap dampak bencana. Sebab pembayaran obligasi bisa cair sangat cepat setelah bencana terjadi. Untuk mendapatkan pembiayaan itu, pemerintah wajib membayar kupon tahunan. Jika bencana tak terjadi, obligasi akan dilunasi pada akhir periode.
Acara tersebut merupakan seminar yang digagas oleh Pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Keuangan. Adapun acara ini diselenggarakan karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memliki risiko fiskal yang tinggi akibat bencana.
Selain itu, dalam acara ini juga direncanakan pula peluncuran Strategi Pembiayaan dan Asuransi Bencana Nasional oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selama acara ini, Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia bersama dengan para pemimpin lain dari Asia akan membahas pembelajaran dan prioritas masa depan dalam membangun ketahanan keuangan terhadap bencana.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya telah menyampaikan bahwa agenda acara tersebut secara lebih spesifik akan membahas mengenai disaster risk financing dan insurance atau skema pembiayaan dan asuransi dalam konteks bencana alam. Menurut Sri Mulyani, skema-skema tersebut penting terutama bagi Indonesia yang memiliki probabilitas terjadinya bencana khususnya gempa bumi tercatat tinggi.
Sri Mulyani mencontohkan, negara di Amerika Latin seperti Chile, Kolumbia, Peru dan Meksiko mereka bersama-sama membuat bonds atau surat hutang dalam bentuk obligasi untuk menghadapi apa yang disebut kemungkinan probabilitas terjadinya gempa bumi. Skema pembiayaan itu baru diluncurkan pada 2018 yang dibantu oleh Bank Dunia, dan itu akan mengkaver pembiayaan dalam jangka waktu sampai 2022.
"Saya ingin mempelajari hal itu, bagaimana caranya, karena indonesia kan negara yang sangat besar dan ini sangat relevan sekali dengan kondisi Indonesia," kata Sri Mulyani di Medan Room, di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali, Senin, 8 Oktober 2018.
Kepada Tempo, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahazil Nazara mengatakan pemerintah telah menyusun strategi pembiayaan untuk bencana sejak tahun lalu. Kementerian Keuangan beberapa kali menyelenggarakan forum diskusi, termasuk dengan Bank Dunia dan Satuan Tugas Manajemen Risiko Bencana Alam Asia Tenggara.
"Indonesia butuh instrumen manajamen, strategi, pendanaan dan asuransi terhadap risiko bencana. Kami sudah selesai menyusun itu," kata Suahazil kepada Tempo di kantornya, Kamis 3 Oktober 2018, di kantornya.
Pemerintah pun menyiapkan beberapa skema pembiayaan risiko bencana alam dengan beberapa cara. Pertama, yaitu skema asuransi internal. Dalam skema ini, pemerintah daerah mengasuransikan diri ke pemerintah pusat, atau semacam premi. Skema berikutnya adalah pemerintah menyisihkan dana abadi seperti dana untuk pendidikan beasiswa LPDP. "Alternatif lain, uang yang kami sisihkan diasuransikan kembali ke luar negeri," kata Suahazil.
Simak berita tentang Bank Dunia hanya di Tempo.co
DIAS PRASONGKO | PUTRI ADITYO