TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjadi salah satu pembicara dalam sesi diskusi panel yang digelar dalam Pertemuan IMF-World Bank bertajuk "Empowering Women in the Workplace" di Ruang Nusantara, Bali International Convention Centre Westin Nusa Dua Bali, Selasa, 9 Oktober 2018. Dalam acara tersebut, Sri Mulyani memaparkan mengenai kondisi para pekerja perempuan di Indonesia.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Indonesia Tak Berencana Ajukan Pinjaman ke IMF
Menurut Sri Mulyani, saat ini di Indonesia tidak ada larangan bagi perempuan untuk bekerja. Namun, perempuan masih dinilai sebagai sumber kedua pencari sumber penghasilan bagi keluarga. Hal ini karena masih banyaknya pandangan mengenai patrialisme di masyarakat.
“Ada stereotip bahwa perempuan lemah di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam. Padahal saya mendapati bahwa nilai akademis mereka saat kuliah tinggi, tetapi tantangannya adalah bagaimana mereka dapat survive saat masuk dunia kerja,” kata Sri Mulyani.
Bendahara negara ini juga mengatakan bahwa saat ini banyak perempuan muda yang sangat semangat saat mulai bekerja. Tetapi kemudian harus berhenti bekerja saat mulai menikah, hamil dan melahirkan.
Sebabnya, persoalan mengurus rumah tangga dipandang sebagai tugas utama seorang perempuan. Akibatnya, para perempuan itu harus membawa peran sebagai seorang Ibu dan pada saat bersamaan pekerjaan domestik rumah tangga juga dibebankan kepada perempuan.
Karena itu, menurut Sri Mulyani, alangkah baiknya jika suatu institusi menjadikan lingkungan kantor ramah bagi para pekerja perempuan. Supaya mereka dapat bekerja dengan nyaman dan dapat menunjukkan seluruh potensi yang ia miliki.
“Tanpa adanya bantuan dari kebijakan yang dapat meringankan beban para wanita, maka menggaungkan kesetaraan gender dalam angkatan kerja akan menjadi sangat sulit,” kata Sri Mulyani.
Sementara itu, selain Sri Mulyani ada pula Direktur Pelaksana International Monetery Fund atau IMF, Christine Lagarde yang juga menjadi salah pembicara dalam panel diskusi tersebut. Adapun Lagarde lebih banyak menyoroti mengenai kondisi pekerja perempuan yang saat ini tengah menghadapi era teknologi tinggi (high-tech).
Paparan teknologi tinggi tersebut tentu akan berpengaruh cukup besar terhadap keberadaan perempuan dalam angkatan kerja. Efek ini bukan karena perempuan bersifat minoritas, akan tetapi karena mereka bekerja dalam bidang pekerjaan yang dapat diotomatisasi. Sehingga teknologi mampu menimbulkan resiko besar terhadap jumlah pekerjaan yang diisi oleh perempuan.