CEO BCA Jahja Setiaatmadja di sela kegiatan Leadership Sharing Session 100 Bankir di Hotel J.W. Marriot Mega Kuningan, Jakarta Pusat, 28 November 2017. TEMPO Yohanes Paskalis Pae Dale
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk atau BCA Tjahja Setiaatmaja sudah menaikkan dua kali suku bunga kredit sepanjang tahun ini. Kenaikan pertama dilakukan pada Agustus lalu. Kemudian, suku bunga kembali naik pasca kenaikan suku bunga acuan atau BI 7-DRR.
“Kami memang sudah naikkan 25 bps karena The Fed menaikkan suku bunga 25 bps. Tetapi ternyata kurs (dolar) masih ada peningkatan. Jadi memang seharusnya kalau dinaikkan 50 bps lebih aman,”kata Tjahja.
Tjahja mengatakan untuk lebih aman memang sebaiknya suku bunga kredit naik 50 bps, namun jika diambil keputusan tersebut diambil maka akan mempengaruhi dunia usaha. Menurut dia, apabila bank menaikkan suku bunga terlalu agresif, maka pertumbuhan dunia usaha akan semakin terseok. Melihat risiko tersebut, akhirnya kenaikan suku bunga ditekan perlahan.
BACA: BI Naikkan Suku Bunga Acuan, Menteri Darmin: Apa Boleh Buat
“Tetapi ini kan seperti buah simalakama, sehingga yang kami pilih 0,25. Yang penting dijaga jangan sampai inflasi tidak terlalu tinggi, sehingga harga barang tidak melonjak terlalu tinggi,” kata Tjahja.
Meski begitu, Tjahja tidak menutup kemungkinan untuk kembali menaikkan suku bunga. Apalagi, sepanjang 2018, BI sudah enam kali menaikkan suku bunga acuan BI-7DRR. Bahkan, BI akan kembali menaikkan suku bunga pada Desember mendatang. Pada tahun depan, BI diperkirakan menaikkan suku bunga tiga kali pada 2019 dan satu hingga dua kali lagi kenaikan suku bunga pada 2020.
Namun, Tjahja mengatakan BCA akan tetap mempertimbangkan kondisi pasar. Ia mengibaratkan menaikkan suku bunga seperti mengendarai mobil yang harus tahu kapan harus menekan pedal gas atau rem. Jika ingin mengacu pada kebijakan The Fed, maka suku bunga harus naik. Di sisi lain, hal tersebut akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Secara fundamental memang harus seperti itu, namun hal itu tidak berlaku jika kondisi pasar yang macet.
“Jadi susah kalau naikkan terlalu agresif. Buat kurs memang aman, tetapi buat pinjaman bagaimana jadinya? Kami ‘kan menghindarkan bunga terlalu tinggi. Jadi ada imbangan antara gas dan rem,” kata Tjahja.