TEMPO.CO, Jakarta - Untuk menekan tren pelemahan rupiah, para pelaku bisnis mengusulkan skema terobosan yang akan mengurangi ketergantungan pengusaha terhadap dolar Amerika Serikat dalam kegiatan ekspor impor. Caranya adalah dengan diversifikasi mata uang saat melakukan transaksi internasional.
Baca juga: Rupiah di Pasar Spot Dibuka Melemah di Level Rp 15.194 per USD
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menjelaskan, skema diversifikasi nilai tukar tersebut dilakukan sebagai upaya untuk membantu menekan tren pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
Berdasarkan perhitungan Apindo, apabila rencana tersebut diaplikasikan dengan baik dan disetujui pemerintah, nilai tukar rupiah akan menguat pada kisaran Rp 13.000—Rp 13.500 per dolar AS.
Menurut Hariyadi, penyebab rupiah terus tertekan terhadap dolar AS adalah terlalu besarnya pemintaan domestik terhadap greenback. Di satu sisi, para importir membutuhkan dolar AS untuk membeli barang. Di sisi lain, eksportir yang mendapatkan dolar AS dari penjualnya enggan mengonversikannya ke rupiah dengan berbagai alasan.
“Untuk itu kami mau bikin komitmen, transaksi untuk ekspor dan impor ke negara tujuan ekspor utama kita selain AS—seperti ke Cina, Jepang, Uni Eropa, Australia dan Singapura—akan menggunakan mata uang negara tujuan ekspor. Misalnya, ke Cina ya pakai reminbi atau ke Uni Eropa pakai euro,” tuturnya pekan lalu.
Langkah tersebut, menurutnya, praktis akan mengurangi ketergantungan eksportir dan importir RI terhadap dolar AS. Lagipula, nilai transaksi perdagangan RI dengan AS pada 2017 masih lebih rendah dari Cina, Jepang, Uni Eropa dan Singapura.
Dia menyebutkan, transaksi internasional yang benar-benar harus memakai dolar AS hanyalah dengan Negeri Paman Sam. Selain itu, mata uang lain seperti euro, yen dan yuan telah diakui sebagai mata mata uang global, karena telah masuk dalam daftar keranjang mata uang cadangan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Berdasarkan data Apindo, pada tahun lalu nilai perdagangan dengan RI dan AS mencapai US$ 28,27 miliar, alias hampir sepertiga dari nilai perdagangan RI dan China pada periode yang sama senilai US$64,33 juta.
“Sebab ekspor dan impor kita ke AS tidak terlalu besar dan tidak melulu ke negara itu. Perdagangan kita ke AS juga tidak sebesar ke Cina, Jepang atau Uni Eropa, jadi ngapain menahan-nahan atau bersikukuh pakai dolar AS,” katanya.
Dia pun meyakini rencana tersebut akan didukung pelaku usaha. Dia percaya, para pebisnis akan mengedepankan nasionalismenya alih-alih bersikukuh dengan egonya. Untuk itu, saat ini Apindo tengah gencar melakukan sosialisasi dan diskusi dengan para pebisnis dan regulator termasuk pemerintah untuk mensukseskan skema tersebut.
Saat dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, otoritas perdagangan mendukung rencana tersebut. Menurutnya, upaya tersebut akan membantu menahan pelemahan rupiah, yang selama ini ditumpukan ke pemerintah.